BloG ini berisi kumpulan tulisan menarik dari berbagai milis dan juga tulisan2 saya di beberapa milis. Topik yg menarik minat saya tentang manusia, kebudayaan, teknologi, management, marketing dan keagamaan...krn banyak posting menarik dari milis yg sayang kalau tidak di dokumentasi. Semoga ada gunanya... :P Silahkan dikomentari dan dikritisi jika ada hal-hal yg tidak sesuai dengan opini anda. Just feel free to write....OK...? :)

Saturday, July 17, 2004

Nasihat untuk para Calon

(imel dr Desi Permata...)

Untuk (Calon) Suamiku ....
Pernikahan atau perkawinan,
Menyingkap tabir rahasia.

Istri yang kamu nikahi,
Tidaklah semulia Khadijah,
Tidaklah setaqwa Aisyah,
Pun tidak setabah Fatimah
Apalagi secantik Zulaikha

Justru Istrimu hanyalah wanita akhir zaman,
Yang punya cita-cita,
Menjadi solehah...

Pernikahan atau perkawinan,
Mengajar kita kewajiban bersama.

Istri menjadi tanah, kamu langit penaungnya,
Istri ladang tanaman, kamu pemagarnya,
Istri kiasan ternakan, kamu gembalanya,
Istri adalah murid, kamu mursyidnya,
Istri bagaikan anak kecil, kamu tempat bermanjanya.

Saat Istri menjadi madu, kamu teguklah sepuasnya,
Seketika Istri menjadi racun, kamulah penawar bisanya,
Seandainya Istri tulang yang bengkok, berhatilah meluruskannya.

Pernikahan atau perkawinan,
Menginsyafkan kita perlunya iman dan taqwa.

Untuk belajar meniti sabar dan ridha Allah Swt.,
! Karena memiliki Isteri yang tak sehebat mana,
justru kamu akan tersentak dari alpa,
Kamu bukanlah Rasulullah,
Pun bukanlah Sayyidina Ali Karamallahhuwajhah,
Cuma suami akhir zaman,
Yang berusaha menjadi soleh...
Amin


Untukku (Calon) Istrimu....
Pernikahan atau perkawinan,
Membuka tabir rahasia.

Suami yang menikahi kamu,
Tidaklah semulia Muhammad SAW,
Tidaklah setaqwa Ibrahim A.S,
Pun tidak setabah Ayyub A.S,
Atau pun segagah Musa A.S,
Apalagi setampan Yusuf A.S.

Justru suamimu hanyalah pria akhir zaman,
yang punya cita-cita,
Membangun keturunan yang soleh.....

Pernikahan atau perkawinan,
Mengajar kita kewajiban bersama.

Suami menjadi pelindung, kamu penghuninya,
Suami adalah nahkoda kapal, kamu navigatornya,
Suami bagaikan balita yang nakal, kamu adalah penuntun kenakalannya,
Saat Suami menjadi raja, kamu nikmati a! nggur singgasananya,
Seketika Suami menjadi bisa, kamulah penawar obatnya,
Seandainya Suami masinis yang lancang, sabarlah memperingatkannya..

Pernikahan ataupun Perkawinan,
Mengajarkan kita perlunya iman dan takwa,
Untuk belajar meniti sabar dan ridha Allah Swt.,

Karena memiliki suami yang tak segagah mana,
Justru Kamu akan tersentak dari alpa,
Kamu bukanlah Khadijah, yang begitu sempurna di dalam menjaga,
Pun bukanlah Hajar, yang begitu setia dalam sengsara,

Sunday, July 11, 2004

Pembaharuan Islam di Indonesia : Meneropong Sosok Ahmad Wahib

Andriansyah
(dari : © Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003)

Sejarah peradaban atau apapun memang tidak selalu berjalan linear. Bak roda pedati yang sulit sekali pada tiap-tiap bagiannya mengalami keajegan final, kadang naik, kadang turun, kadang berhenti sejenak, dan seterusnya. Sesuatu yang sangat wajar, dan barangkali sudah terlalu biasa didengar. Demikianlah sebuah titah kehidupan yang mau tak mau diemban seorang anak manusia.



Begitupun persoalan pembaharuan dalam Islam, tak disangsikan lagi merupakan sesuatu yang tidak boleh tidak terjadi. Pembaharuan bagi Islam seolah sudah menjadi determinasi sejarah. Ia terus dan akan selalu terjadi, kalaupun tidak, nampaknya memang mesti diadakan. Apalagi bila kata pembaharuan Islam disandingkan dengan hal mana dinamakan kemodernan—yang notabene anak kandung peradaban Barat.



Namun, nampaknya pembaharuan dalam Dunia Islam bukan soal diadakan atau tidak. Kalau persoalannya sekadar menjadi diadakannya pembaharuan atau tidak, agaknya membincang pembaharuan boleh dianggap selesai, dan lagi menjadi tidak menarik. Persoalan menjadi lain, manakala diajukan sebuah pertanyaan: bagaimana cara melakukan pembaharuan Islam itu?



Pertanyaan di atas amat krusial, bahkan membuahkan perdebatan yang tidak pernah selesai hingga kini. Banyaknya suara dengan mana pembaharuan Islam dilakukan, makin memperlambat perkembangan religiusitas Umat Islam. Dimana Umat seharusnya sudah melangkah ke tahap lanjutan ketimbang dengan hanya bergulat pada soal religiusitas. Kontestasi antara sikap kembali kepada tradisi, sebagai wujud sikap atas nama kebaruan Islam dengan sikap menerima kemodernan sebagai ‘jalan lurus’ sikap hidup, atau mengakomodasi keduanya, menjadi tema yang berkepanjangan. Karenanya pembaharuan dalam Islam, hingga kini, boleh dibilang baru pada tahap wacana. Kalaupun memunculkan gerakan, hal itu belum secara masif dilakukan.



Dalam menyikapi kemodernan, situasi dan kondisi Dunia Islam memang sangat berbeda dengan Barat. Berangkat dari tradisi yang berpijak pada doktrin Jesus “berikan apa yang menjadi hak kaisar pada kaisar, dan yang menjadi hak agama pada agama”. Barat lulus ujian mengatasi polemik pembaharuan keagamaan, meskipun tentu saja tidak kering dari tetesan tinta maupun darah selama berabad-abad lamanya. Sekularisme menjadi ajimat bagi Barat. Persepsi terhadap Isa As. yang dilihat tak lebih hanya sebagai pengemban titah keagamaan dan tidak termasuk pada masalah keduniaan, melepaskan Tuhan dari gerak sejarah. Keuntungannya, Barat tidak terus-menerus berpusar pada persoalan relijiusitas, hal ini sudah dianggap selesai. Preseden ini tidak terdapat dalam Dunia Islam. Muhammad Saw. tidak pernah secara tandas menegaskan, apakah ia pengemban titah keagamaan saja, dan ataukah juga terutus untuk menyelesaikan masalah-masalah keduniaan, dalam artian seluas-luasnya. Yang terlihat justru malah kedua-duanya. Pencitraan Muhammad Saw. seperti ini hampir dianut oleh sebagian besar Umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia.



Karena itulah gejala umum yang terjadi dalam Umat Islam, ketika mereka menghadapi situasi modern, masalahnya nyaris sama. Berputar dalam masalah langkah-langkah yang mesti dilakukan dalam melakukan pembaharuan. Sayangnya, sedikit sekali orang yang mau berkubang dalam upaya mencari yang sejati dari apa yang dinamakan pembaharuan Islam.



Pembaharuan Islam di Indonesia dari dahulu hingga kini memang sangat elitis sifatnya. Menempuh cara Barat dalam merengkuh kemodernan barangkali hal paling gampang digulirkan, namun apakah ia akan efektif di tengah basis material Umat yang sedemikian berbedanya dengan Barat. Jangan-jangan upaya untuk itu, hanya akan menjadi cemooh dan tuduhan upaya mendeskreditkan Islam. Karenanya dalam melakukan pembaharuan Islam, seseorang harus rela menyerahkan diri sepenuhnya dalam cita-cita itu, dengan segala resiko apapun yang bakal diterima. Juga harus bersedia memeras tenaga dan pikiran bagi pemecahan soal-soal bagaimana al-Qur’an hendak ditafsirkan, sejauh mana relevansi Hadits menjadi pedoman, dan dalam batas-batas mana nilai-nilai islam maupun sistemnya terwujud di tengah-tengah Umat. Dalam konteks Indonesia, hal ini masih ditambah satu lagi, yaitu perlunya mempertimbangkan kondisi masyarakat yang sedemikian plural, baik agama, etnis, maupun kepercayaan. Inilah realitas masyarakat yang ada. Pada akhirnya, seorang pembaharu Islam di Indonesia, mau tak mau harus memecahkan secara strategis pada persoalan-persoalan sikap Umat Islam terhadap syari’ah. Satu hal inilah yang menjadi pangkal perdebatan hingga kini. Konon hal ini disebabkan Islam di Indonesia sangat kuat menganut paham Sunni. Dimana kemudian, merujuk namanya, cita-cita Islam yang ideal haruslah Islam yang meniti pada tradisi sunnah Nabi, yang pelaksanaanya diupayakan dalam arti kolektivitas (jama’ah). Jadi, lokus perdebatan keharusan melakukan pembaharuan Islam, tidak boleh mengorbankan persatuan dan kesatuan Umat dalam kolektivitas. Kalau yang terjadi kemudian adalah berpotensi memecah Umat, sebaiknya ia tidak diupayakan. Maka, seorang pembaharu, mengalami dua dilema sekaligus: dilema memperturutkan dan memenuhi niat suci perubahan bagi Umat; dan dilema mencari anggitan yang paling dasar bagi upaya pembaharuan, yaitu dukungan Umat.



Ahmad Wahib

Dari sebagian orang yang mau berkubang dalam lumpur dilema diatas, tersebutlah nama Ahmad Wahib. Konon dari segi penampakan, pria yang dilahirkan pada tanggal 9 Nopember 1942 di kota Sampang, Madura ini, berperawakan kecil. Praktisnya sangat tidak meyakinkan orang, bahwa dalam dirinya terdapat gunung api yang sewaktu-waktu meledak terhadap pembaharuan Islam di Indonesia. Dalam catatan hariannya yang dibukukan, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, bagaimana diungkapkan jalan hidup yang ditempuhnya dalam strategi pembaharuan Islam di Indonesia menghadapi pemetaan Umat diatas. Pada tanggal 10 April 1972, ia menulis sebagai berikut:



Kita kaum pembaharu muslim masih terlalu banyak menoleh kebelakang. Kita masih telalu sibuk melayani serangan-serangan dari orang-orang muslim tradisional. Kalau ini sampai berjalan lama dan menjadi kebiasaan saya kuatir kaum pembaharu akan terlibat dalam apologi bentuk baru, yaitu apologi terhadap ide-ide pembaharuan (yang sudah ada) melawan kaum tradisional. Bila ini sudah terjadi maka terhentilah sebenarnya kerja pembaharuan kita.

Umur pembaharuan dikalangan muslim masih terlalu muda. Karena itu saya sangat kuatir bila dia menyibukan diri untuk: 1. menangkis dan menyerang muslim-muslim tradisional dengan faham-fahamnya yang sudah lama tersusun; 2. untuk menyebarkan pikiran-pikirannya yang notabene belum matang, belum lengkap dan jauh dari utuh. Karena itu sebaiknya kaum pembaharu memusatkan diri pada ketekunan pemikiran dan perenungan alam suatu grup kecil untuk mengolah dan mengembangkan konsep-konsep yang ada agar relatif matang, lengkap dan utuh. Kalau ini tidak dilakukan saya kuatir kita akan menjadi budak yang mau maju terus dan malu untuk sewaktu-waktu mundur bila kadang-kadang salah.



Ahmad Wahib memang seakan sudah berjodoh akan menjadi orang ‘besar’ bagi orang-orang yang concern terhadap pembaharuan Islam Indonesia—paling minimal bagi pengagum pikiran-pikiran pembaharuannya. Ada baiknya terlebih dahulu kita lihat siapa sebenarnya ia.



Ahmad Wahib terlahir sebagai seorang Muslim yang juga Jawa. Laiknya anak-anak Muslim pada umumnya di Indonesia, ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sangat kental dimensi keagamaannya. Apalagi ayahnya, Pak Sulaiman, merupakan seorang pemimpin sebuah pesantren yang sangat kuat pengaruh dan dikenal luas di kampungnya. Satu hal yang membedakan Wahib dengan anak-anak Indonesia lainnya, selain memiliki nasib baik, ia dididik dalam keluarga agamis, dididik dalam sikap keberagamaan ayahnya yang tebuka dan bebas. Ayahnya memang pengagum setia pemikiran-pemikiran pembaharu Islam asal Mesir, Muhammad Abduh. Sikap terbuka inilah yang memungkinkan Wahib menempuh pendidikan umum, berbeda dengan teman sebayanya yang tidak ada pilihan lain memasuki Madrasah (sekolah agama). Pendidikan umum ini, dijenjanginya sampai tingkat menengah atas. Selepas belajar di SMA Pamekasan, Ahmad Wahib melanjutkan studinya ke Yogyakarta. Di Yogyakarta, ia melanjutkan studi pada Fakultas Ilmu Pasti dan Alam Universitas Gajah Mada (FIPA- UGM), sealur dengan pendidikannya ditingkat atas sebelumnya. Tidak banyak diketahui atas dasar apa kemudian, Wahib lebih memilih tinggal di asrama mahasiswa calon-calon pastur, Asrama Mahasiswa Realino. Dan pada saat yang sama ia putuskan memasuki organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), satu hal yang dalam beberapa segi merupakan bentuk komitmennya yang begitu tinggi terhadap Islam.



Seperti dikatakan A.H. Johns1, tindakannya memasuki HMI saat itu, merupakan sebuah tindakan berani. Sebab, pada dekade 60-an itu, terjadi polarisasi amat intensif dalam pergumulan politik, antara pihak kubu Soekarno bersama kelompok-kelompok nasionalis radikal dan Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan angkatan bersenjata, dan sayap politik Partai Masyumi yang terlarang, bersama partai-partai kecil lainnya, dipihak lain. Dan pilihan berjuang dalam lembaga Islam merupakan pilihan sulit. Terlebih lagi saat itu Masyumi, yang dianggap ikon pembaharu sekaligus ikon kekuatan Islam menyandang stigma buruk dimata penguasa, sebagai akibat lanjutan carut-marutnya politik sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Masyumi yang kala itu memperjuangkan syari’at Islam (sebagaimana disinggung diatas, pada lahan inilah pembaharuan banyak dilakukan), akhirnya dilikuidasi. Namun dihati Umat, Masyumi masih menjadi harapan tampilnya nuansa Islam dalam penggung nasional. Lewat underbouw-nya lah, seperti HMI, banyak diteruskan cita-cita perjuangan Masyumi. Dari sini Wahib, pada tahap selanjutnya, banyak disibukan untuk memikirkan dan mereka-reka dimanakah posisi ideologis Islam ditengah-tengah beraneka warna ideologis era 60-an. Iklim kondusif Yogyakarta turut pula membentuk dirinya dalam pikiran, sikap maupun perbuatan. Selain aktivismenya yang berkobar-kobar di HMI, ia mencari bahan bakarnya dalam diskusi-diskusi kelompok studi terbatas Limited group. Disinilah bermulai pikiran-pikirannya yang liar namun menggugah. Dalam forum ini pula gambaran bagaimana concern-nya terhadap Islam makin menjadi-jadi. Nilai lebihnya, dalam forum ini pula dimungkinkan pengungkapan segala unek-unek yang dirasakan setiap anggotanya, mulai dari masalah-masalah teologis samapi hal-hal yang bersangkutan dengannya, hal mana tidak lazim bagi kebanyakan Umat Islam saat itu untuk dipertanyakan. Namun, lama kelamaan, Yogyakarta tidak dirasakannya menantang dan memberi inspirasi lagi. Dalam catatan hariannya pada tanggal 5 Juli 1969, ia menulis:



Aku sudah terlalu lama di Yogya. Dia sudah terlalu kering buat suatu inspirasi. Bagiku kota ini tidak inspiratif lagi. Kapankah keinginanku intik menjelajah dunia ini bisa terlaksana?

Aku benci homogemitas dan suasana monoton. Aku ingin mencari lingkungan baru yang masih kaya akan inspirasi.



Tahun 1971, akhirnya ia mencoba mencari lautan inspirasi di kota bernama Jakarta, dan mulai memikirkan bagaimana merancang masa depannya. Sambil mencari pekerjaan, ia seringkali mengikuti kuliah-kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STFD) dan mengikuti diskusi-diskusi di rumah Dawam Rahardjo, kawan lamanya di HMI cabang Yogyakarta dulu.



Masa-masa di Jakarta boleh dibilang masa-masa sulit baginya. Sampai suatu ketika, seorang pengendara motor berkecepatan tinggi menabraknya di persimpangan jalan Senen Raya-Kalilio. Hari itu, tanggal 31 Maret malam tahun 1973, Wahib, seorang calon reporter Majalah Tempo, menghembuskan napasnya yang terakhir.



Manusia Merdeka di Jaman Baru

Kalau saja Wahib tidak menulis catatan harian, dan atau kalaulah Djohan Effendi, teman dekatnya, tidak dapat menemukan catatan-catatan itu, barangkali Wahib tidak akan dikenal sebagai seorang yang amat concern terhadap pembaharuan Islam. Apalagi dengan terbitnya buku catatan harian Wahib, sedikit banyak memiliki gaung gelombang yang resonansinya mengena banyak kalangan anak-anak muda sesudahnya.



Seperti dikatakan Walt Whitman, manusia besar selalu lahir dari alam, barangkali lebih tepat lagi pengalaman. Kehidupan Wahib yang seorang muslim, seorang yang berbudaya Jawa, ditambah pergaulannya dengan orang-orang Katolik langsung dari kantong-kantongnya, pergulatan dalam HMI, menjadikannya manusia yang berdaya serap tinggi yang tidak pernah kehilangan dahaga. Pada 6 Oktober 1969, ia menulis:



…Memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru. Permainan yang tak akan pernah selesai ini sangat mengasyikan.



Dengan belajar dari kehidupan yang ia lambarinya secara langsung, menjadikannya manusia yang siap menampung segala hal, yang dalam bayangan orang lain barangkali tidak mungkin. Bahkan ia sampai pada tekad enggan untuk dikotak-kotakan kedalam golongan tertentu masyarakat. Ia menginginkan orang lain menerimanya dalam arti manusia sesungguhnya. Manusia yang tidak berbeda hanya karena ideologi dan keyakinan yang dinautnya. Pada 9 Oktober 1969, ia menulis:



Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat.

Memahami manusia sebagai manusia.



Agaknya Wahib sudah sangat bosan mendapati sikap-sikap orang sekelilingnya yang cenderung menilai orang lain bukan karena pribadinya tapi lebih karena kepada apa orang itu berafiliasi. Secara kontekstual, pendirian Wahib ini mendapat relevansinya dengan keadaan politik 60-an yang sangat carut-marut. Berbagai faksi politik saling curiga mencurigai satu dengan lainnya, bahkan sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan.



Masa-masa ini merupakan masa paling bergejolak dalam sejarah Indonesia. Luka psikologis yang dialami Wahib, yang disebabkan oleh kenyataan yang nampak dihadapannya mulai dari krisis ekonomi yang sedemikian parah, intrik politik yang melahirkan kup oleh PKI pada 1965, pembantaian atas orang yang dituduh sebagai PKI setelah gagalnya kup tersebut, mengajarkannya banyak hal, yang mendorong segenap energinya untuk berbuat sesuatu untuk bangsanya. Dan yang paling dekat ialah pembaharuan pemahaman terhadap Islam.



Pemuda yang hidup masa sebaya Wahib, seperti diutarakan oleh penggerak pembaharuan lain, Soe Hok Gie, merupakan manusia-manusia baru. Bahkan, barangkali generasi baru, atau lapisan baru seperti termuat dalam pengantar redaksi Kompas pada Agustus 1969, yang dikutip oleh Daniel Dhakidae:



Tanpa kita sadari di bumi Indonesia kini telah tumbuh suatu lapisan baru, pemuda-pemuda, pemudi-pemudi Indonesia yang dilahirkan setelah tahun 1945__generasi kemerdekaan Indonesia2.



Generasi-generasi baru ini, seperti diungkap Daniel Dhakidae, adalah:



Mereka bukan orang yang takjub melihat kaki langit baru, yang terkagum-kagum kepada Barat model Sutan Takdir Ali Sjahbana; mereka bukan “pemuda bambu runcing”; mereka adalah generasi yang dididik dalam optimisme setelah penyerahan kedaulatan, dalam mitos-mitos tentang kemerdekaan dan harapan besar terhadap “kejayaan Indonesia di masa depan”; mereka dalah generasi yang dibius oleh semangat “progresif revolusioner” model Soekarno; tetapi terutama generasi inilah yang mengalami kehancuran cita-cita itu semuanya, demoralisasi dalam segala bidang, kehancuran kepercayaan kepada generasi-generasi yang terdahulu3.



Kenyataan pahit yang terjadi terhadap bangsanya sendiri barangkali hal biasa. Masa kemerdekaan, kenyataan tersebut boleh dibilang santapan dari hari ke hari. Namun tragisnya, kesengsaraan dan kepedihan itu bukan disebabkan oleh bangsa lain, tapi oleh anak-anak bangsa yang dulu berjuang untuk rakyat. Tunas idealisme yang dulu ditanamkan kepada kalangan muda ditanggalkan pada saat belum lagi kokoh menghujam ke langit. Wahib merupakan salah seorang dari berjuta pemuda Indonesia yang mengalami ‘pengkhinatan’ dari elite bangsanya sendiri. Pernah suatu ketika, dalam catatan hariannya pasa 6 Juni 1969, ia berujar:



Aku tidak mengerti keadaan di Indonesia ini. Ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampir tetap saja. Bagaimana ini?



Pada 20 Pebruari 1970, Wahib menulis:



Pada saat ini terlihat bahwa seluruh sikap-sikap mental mengalami degradasi di Indonesia, termasuk sikap mental bertanggung jawab.

Beberapa orang yang pada mulanya kelihatan sangat potent untuk berwatak penuh tanggung jawab, ternyata menjadi pelempar tanggung jawab. Ada suatu bahaya bahwa masyarakat Indonesia akan menjadi society of responsibility shifters. Karena itu dari kalangan anak-anak muda di samping orang-orang tua, haros tampil beberapa orang yang berani melawan arus ini dan menegakan suatu masyarakat yang bertanggung jawab.



Sikap berdiam diri jelas bukan prototype Wahib. Sebagaimana maklum, ia akhirnya memasuki HMI sebagai wahana perjuangannya. Namun begitu, ia masih sangat menaruh harapan besar terhadap insan-insan kreatif yang tidak kenal lelah untuk membangun cita-cita. Romantisme terhadap apapun hanya akan menjadi apologia. Dan sikap apologia inilah sebenarnya yang menjadikan bangsa Indonesia, dimana Umat Islam bagian terbesarnya, terlalu depensif dalam hidup. Umat Islam hanya bisa sebatas reaksi ketimbang melakukan aksi. Karena itu menjadi manusia yang merdeka, otonom, harus menjadi cita-cita dan segera diwujudkan dalam alam pembaharuan. Untuk itu Wahib, menulis pada 16 Agustus 1970, sebagai berikut:



Cara bersikap kita terhadap ajaran Islam, Qur’an dan lain-lain sebagaimana terhadap Pancasila harus berubah, yaitu dari sikap sebagai insan otoriter menjadi sikap insan merdeka, yaitu insan yang produktif, analitis dan kreatif.







Cinta Platonik

Seringkali dalam kehidupan, kita dihadapkan pada banyak hal yang tak terduga, dari semula yang begitu matang direncanakan. Sosok Wahib yang sangat sederhana, barangkali bersahaja, sama halnya dengan cara pandang hidupnya. Wahib bukanlah seseorang yang selalu mesti menetapkan dirinya berpikiran hal-hal yang besar. Ia sepenuhnya sadar akan begitu lemah kemampuan komunikasinya dengan orang lain. Ini menjadi ciri tersendiri buatnya. Wahib sampai suatu ketika juga sepenuhnya insaf bahwa selama ini hanya banyak berolah rasa dengan dirinya sendiri, hal mana menjadi titik kelemahan yang diakuinya sedikit banyak menghambat kemajuan dalam pendekatan ide-idenya.



Kelemahannya ini membuat Wahib tidak pernah menemukan cinta sesungguhnya pada seorang wanita khusus, seolah ada saja ketakutan yang serba nir alasan. Pada tahap tertentu, ketakutan itu terjadi lebih karena umurnya yang sudah cukup dewasa, namun belum ada kejelasan untuk memiliki teman hidup. Sehingga, ketakutan-krtakutannya itu kerap mewujud dalam mimpi-mimpinya. Tulis Wahib pada tanggal 26 Maret 1969:



Aku terbangun oleh mimpi yang mengerikan setelah 4 jam tidur malam ini. Masih jam 2.15. Aku kesal menunggu pagi. Aku teringat pada...yang mengembalikan aku pada kenangan masa kanak-kanak di mana aku baru mengenal cinta dari buku-buku komik dan roman murahan. Oh, aku teringat pada rambutnya yang mayang mengurai, warna keputih-putihan pada pipinya dan tubuhnya yang tidak begitu langsing. Aku teringat bagaimana dia bermain-main dihalaman rumahku. Aku tak tahu lagi di mana dia sekarang. Ah, romantisitas sekali menoleh masa lalu. Adakah ini tanda-tanda bahwa aku telah apologetik dalam erotik? Apologetik yang kubenci? Tidak, aku tak mau apologi. Aku akan berjuan keras menghadapi masa kini dan nantiku.



Cinta yang sebatas pergulatan dalam “ideation” itulah yang nampaknya mengungkungi Wahib, tidak hanya pada ketika ia mencintai lawan jenisnya saja. Pada banyak hal pun ia mengalami itu. Bagaimana misalnya kecintaannya pada HMI. Keinginannya untuk melakukan pembaharuan di tubuh HMI, akhirnya hanya menjadi angan-angan yang tak pernah kesampaian. Eksodusnya Wahib dari HMI, pasti bukan karena ia sudah tidak kerasan di dalamnya. Lebih dari apapun kecintaanya pada HMI tidak pernah luntur. Sayangnya, seperti kepahitan hidup yang kerap dirasakannya, ia harus menghadapi situasi yang serba dilematis antara mempertahankan idealisme, keterbukaan, kebebasan, dengan berdiam diri ditengah-tengah ketidak wajaran yang terjadi di lingkungannya sendiri.



Wahib memendam penyesalan yang dalam, sebab ikrar cinta sucinya bersama HMI dihalangi dan tidak diberi ruang pemuasannya. Dalam pada itu, dia menulis dalam bentuk aforisme pada 14 Agustus 1969:



HMI bukan sekedar alat

yang bisa diganti dengan lain alat

HMI bukan sekadar saluran

yang bisa ditukar bergantian

terasa...HMI telah menjadi nyawa kita

HMI telah ada dalam urat dan nadi kita

dia ada dalam keriangan kita

dia ada dalam kesusahan kita

dia ada dalam kecabulan kita

dia ada dalam ke kanak-kanakan kita

HMI telah menghisap dan mengisi jaluran-jaluran darah kita



walaupun begitu perpidahan ini kita lakukan juga

kita tidak boleh tercekam oleh emosi

yang akan membuat kita terus termangu,

keragu-raguan dalam perpisahan

relakanlah segalanya

buat yang masih tinggal



Dalam keadaan seperti ini Wahib sepertinya merasakan kesepian amat dalam, bahkan kadang merasa pula keadaan frustasi akan kepahitan hidup. Namun bukan sikapnya pula ia pantang menyerah. Satu hal yang amat disesalinya ialah bila orang lain menanggung hasil-hasil perbuatannya yang berdampak negatif, tidak lebih dari itu ia selalu menghadapi kepahitan dengan selalu tersenyum. Yang paling dikhawatirkan Wahib mengenai kepahitan hidup yang silih berganti mendera, adalah kehilangan pembacaan onjektif terhadap gejala sosial yang masih tetap dipegangnya. Oleh sebab itu, ia mencari pemecahan lain yang bertujuan menjaga tingkat objektivitas pandangannya sekaligus mempertajam analisa pemahamnnya. Ia tuliskan hal ini pada 20 April 1970, demikian:



Dengan membaca aku melepaskan diri dari kenyataan yaitu kepahitan hidup. Tanpa membaca aku tenggelam sedih. Tapi sebentar lagi akan datang saatnya dimana aku tidak bisa lagi lari dari kenyataan. Kenyataan yang pahit tidak bisa dihindari teris-menerus berhubung dualitas diri yaitu jasmani dan roahani. Sebentar lagi kenyataan akan menangkapku dan aku belum tahu bagaimana saat itu harus kuhadapi.

Saat itu adalah saat yang paling pahit.



Penutup

Agak sulit mengukur sejau mana posisi Wahib dalam pembaharuan Islam. Namun, paling tidak kita dapat melihatnya dari respon Umat Islam terhadapnya tidak lama setelah catatan hariannya dibukukan. Penerbitan buku ini bukan hanya mengundang polemik, tapi juga ‘shock’ ditengah-tengah Umat Islam. Persis seperti yang pernah disinyalir olehnya, bahwa terkadang kita harus melakukan kejutan-kejutan terhadap kejumudan cara pandang Umat. Sampai akhir hayatnya pun ternyata Wahib masih setia dalam garis perjuangannya.



Dalam hal pemikiran keagamaan, khususnya keislaman, Wahib sampai saat ini memang masih menyisakan semangat ‘pemberontakan’ keagamaan, meskipun baru terjadi pada kantong-kantong komunitas masyarakat scope terbatas. Agaknya pembaharuan Islam Indonesia dalam taraf tertentu memang agak tehambat. Sebabnya boleh jadi karena pendekatan kaim pembaharu terkadang tidak simpatik, apalagi kebanyakan mereka tidak menghujam dalam pada segi pengaruh. Kekhawatiran ini sebenarnya yang didedahkan Wahib semasa hidupnya.



Pembaharu Islam sampai saat ini, nampaknya masih tetap berkutat dalam wacana ketimbang aksi. Sehingga banyak orang yang kontra-pembaharuan mengatakan bahwa model “rethinking” Islam—menempatkan Islam sebagai fakta sejarah—dalam pembaharuan Islam saat ini hanya mengganti kemasan tidak pada isi.



Agaknya yang belum dilakukan Wahib dalam pembaharuan Islam adalah berusaha melakukannya pada basis dan dari masyarakat itu sendiri. Tidak bijak juga mempermasalahkan persoalan Umat dengan tidak melibatkan Umat. Partisipasi masyarakat pada akhirnya mau tak mau harus dipertimbangkan dalam proses pembaharuan Islam. Wallahu a’lam bi al-shawab.





Catatan:



--------------------------------------------------------------------------------

1 A.H. Johns, Sistem Atau Nilai-nilai Islam? Dari Balik Catatan Harian Ahmad Wahib, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, vol II, no.2,Th.1992

2 Daniel Dhakidae, Soe Hok Gie: Sang Demonstran, dalam pengantar Soe Hok Gie: Catatan Seorang Deminstran, (Jakarta: LP3ES,1993)

3 Ibid.



Andriansyah, tokoh muda Bekasi, alumnus PP Annida ul-Islamy, Bekasi. Kini tengah menyelesaikan studinya di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada jurusan Tafsir Hadits





© Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003

International Institute of Islamic Thought Indonesia

KENANGAN KEPADA SEORANG DEMONSTRAN - SOE HOK GIE

(artikel dr indomedia.com)

Enam belas Desember 30 tahun lalu, Soe Hok Gie, tokoh mahasiswa dan pemuda, meninggal dunia di puncak G. Semeru, bersama Idhan Dhanvantari Lubis. Sosok dan sikapnya sebagai pemikir, penulis, juga aktivis yang berani, coba ditampilkan Rudy Badil, yang mewakili rekan lainnya, Aristides (Tides) Katoppo, Wiwiek A. Wiyana, A. Rachman (Maman), Herman O. Lantang dan almarhum Freddy Lasut.



"Siap-siap kalau mau ikut naik lagi ke Gunung Semeru. Kasih kabar secepatnya, sebab harus ada persiapan di musim penghujan Desember, juga pertengahan Desember itu bulan puasa Ramadhan," kata Herman O. Lantang, mantan pimpinan pendakian Musibah Semeru 1969, yang masih amat bugar di umurnya yang sudah lewat 57 tahun.

Terkejut dan tersentuh juga saya saat mendengar ajakan Herman itu. Dia merencanakan membentuk tim kecil untuk mendaki puncak Semeru lagi Desember ini, sambil memperingati 30 tahun meninggalnya dua sobat lama kami, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis. "Kita juga akan berdoa, sekalian mengenang Freddy Lasut yang meninggal beberapa bulan lalu," lanjutnya.

Soe meninggal dunia saat baru berumur 27 tahun kurang sehari. Idhan malah baru 20 tahun. "Tanpa terasa Soe sudah tiga dasawarsa meninggalkan kita sejak Orde Baru ... perkembangan yang terjadi di Tanah Air dalam dua tahun terakhir ini, khususnya gerakan mahasiswa yang telah menggulingkan pemerintahan Orde Baru, mengingatkan kita kembali pada situasi tahun 1960-an, ketika Soe masih menjadi aktivis mahasiswa kala itu," begitu bunyi naskah buku kecil acara "Mengenang Seorang Demonstran", (berisikan antara lain diskusi panel soal bangsa dan negara Indonesia ini), yang bakal diselenggarakan Iluni FSUI dan Alumni Mapala UI.



Kasih batu dan cemara
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Soe yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), di benak saya mulai tergali suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G. Semeru.

Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya G. Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, bersama Maman saya terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan. Kami menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru.

Di depan kelihatan Soe sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan. Sempat pula kami berpapasan dengan Herman dan Idhan. Kelihatannya kedua teman itu akan menjadi yang paling akhir mendaki ke Mahameru.

Dengan tertawa kecil, Soe menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, "Simpan dan berikan kepada kepada 'kawan-kawan' batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI." Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum bersama Maman saya turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).

Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, kami menunggu datangnya Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.

Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. "Soe dan Idhan kecelakaan!" katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, kami berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan berkali-kali.

Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soe dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Kami berharap semoga Soe dan Idhan cuma pingsan, besok pagi siuman lagi untuk berkumpul dan tertawa-tawa lagi, sambil mengisahkan pengalaman masing-masing.

Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta kami menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.

"Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya," begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, kami berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.
Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, kami yakin kalau Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kami jumpai jasad kedua kawan kami sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam dan sedih.



Mengapa naik gunung

Sejak dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Soe yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah membosankan kuping dan tenggorokan.

Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mi hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam dingin dan hujan itu, kami bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. "Pokoknya gue akan berulang tahun di atas," katanya sambil mesam-mesem. "Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali."

Pagi hari nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke puncak, kami sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. "Keren enggak?" Tanyanya.

Rombongan pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru dari dataran di kaki G. Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.

Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya (saya), asal muasal nama recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun sang mahasiswa juga membayangkan dengan geli, betapa kagetnya wakil DPR-RI saat itu ketika menerima bingkisan dari kelompok Soe berisi gincu dan cermin sebagai perlambang fungsi anggota DPR yang banci. Sayang, cuma segitu ingatan saya tentang Soe pada jam-jam terakhirnya.

Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan "falsafahnya", kala mengajak seseorang mendaki gunung. "Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di P. Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di P. Jawa ini," kira-kira begitu katanya, sambil menyinggung nama mantan Presiden Soeharto, nun sekitar 30 tahun lalu.

Memang pendakian ke Semeru ini merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI 1969. Soe dengan keandalannya melobi kiri-kanan, mampu mengumpulkan dana untuk subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa bokek sejati.

Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak orang. Kami yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama sembilan hari benar-benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga hari karena kehabisan makanan, kami makin sedih saat menerima surat dari Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan.

Herman, kami sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan sepanjang malam (sekitar 20 jam). Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll. secepatnya mendahului rombongan ... Tides dan Wiwik 18-12-69.

Saya pun terpilih menjadi kurir, mendahului rombongan sambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya tunggu di Cemorokandang dan bermaksud menunjukkan "site" tempat jenazah Soe dan Idhan ... kirimkan: gula/gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian hangat ... sebanyak mungkin!
Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh anggota rombongan baru berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di Malang. Kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa hari di RS Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring kesepian di dalam peti jenazah masing-masing.
Untuk terakhir kali, kami tengok Soe dan Idhan. Soe yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin dipakai semasa hidupnya.



Monyet tua yang dikurung
Kalau diingat-ingat, selama beberapa minggu sebelum keberangkatan dengan kereta api ke Jatim, Soe memang suka berkata aneh-aneh. Beberapa kali dia mengisahkan kegundahannya tentang seorang kawan yang mati muda gara-gara ledakan petasan. Ternyata dalam buku hariannya di CSD, Hok Gie menulis: "... Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru ...."

Soe yang banyak membaca dan sering diejek dengan julukan "Cina Kecil", memanfaatkan kebeningan ingatannya untuk menyitir kata-kata "sakti" filsuf asing. Antara lain, tanggal 22 Januari 1962, ia menulis: "Seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."

Soe yang penyayang binatang (dia memelihara beberapa ekor anjing, banyak ikan hias dan seekor monyet tua jompo), sebelum musibah Semeru itu sempat berujar: "Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras ... diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil ... orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur."

Arief Budiman, sang kakak yang menjemput jenazah Soe di Gubuk Klakah, juga merasakan sikap aneh adiknya. Sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya. Dia berkata, "Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang ... makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan ... Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian." (CSD) Arief sendiri mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah dan berkata: "Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang." Terhadap Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: "Ah, Mama tidak mengerti".

Arief pun menulis kenangannya lagi: ... di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram karena voltase yang selalu naik turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, sering kali masih terdengar suara mesin tik ... dari kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangan ... saya terbangun dari lamunan ... saya berdiri di samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik, "Gie kamu tidak sendirian". Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yag saya katakan itu.



Mimpi seorang mahasiswa tua
John Maxwell yang menyusun disertasinya, Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesia Intellectual (Australian National University, 1997), menjabarkan betapa banyaknya komentar penting terhadap kematian Hok Gie. Harian Indonesia Raya yang masa itu sedang gencar-gencarnya mengupas kasus korupsi Pertamina-nya Ibnu Sutowo, memuat tulisan moratorium tentang Soe secara serial selama tiga hari.

Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, mempersembahkan editorial khusus: ...Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih ... kita membutuhkan orang seperti dia, sebagai lonceng peringatan yang bisa menegur kita manakala kita melakukan kesalahan.

Di luar negeri, berita kematian Soe sempat diucapkan Duta Besar RI Soedjatmoko, di dalam pertemuan The Asia Society in New York, sebagai berikut: ... Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hok-gie, salah seorang intelektual yang paling dinamis dan menjanjikan dari generasi muda pasca kemerdekaan .... Komitmennya yang mutlak untuk modernisasi demokrasi, kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan ... bagi saya ia memberikan suatu ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah disampaikannya kepada kita, dalam hidupnya yang singkat itu.

Kepada Ben Anderson, pakar politik Indonesia yang juga kawan lengket Soe, dalam salah satu surat terakhirnya, Soe menulis, ... Saya merasa semua yang tertulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan semuanya ingin saya isi dengan bom!

Dari cuplikan berbagai tulisan Soe, terasa sekali sikap dan pandangannya yang khas. Misalnya, Soe pernah menulis begini: Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama - buruh - dan pemuda, bangkit dan berkata - stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa pun. Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.

Khusus soal mahasiswa, menjelang lulus sebagai sejarawan, 13 Mei 1969, Soe sempat menulis artikel Mimpi-mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua. Dalam uraian tajam itu, ia menyatakan: ... Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkan dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan ... Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa.

Saat dirinya masuk korps dosen FSUI, secara blak-blakan Soe mengungkap ada dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Terjemahan mahasiswa itu dipakainya sebagai bahan pengajaran, karena sang dosen ternyata tidak tahu berbahasa Inggris.

Masih di seputar mahasiswa, dalam nada getir, Soe menulis: ... Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh sementara dosen-dosen korup mereka.

Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR Gotong Royong, Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki "politisi berkartu mahasiswa". Langkah Soe ini membuat mereka terperangah. Sayangnya, momentum ini kandas. Soe Hok Gie keburu tewas tercekik gas beracun di Puncak Mahameru.



Berpolitik cuma sementara

John Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang Seorang Demonstran (November 1999), menulis begini, "Saya sadar telah menulis tentang seorang pemuda yang hidupnya berakhir tiba-tiba, dan terlalu dini dengan masa depan yang penuh dengan kemungkinan yang begitu luas."

Kita telah memperhatikan bagaimana Soe Hok Gie terpana politik dan peristiwa nasional, setidak-tidaknya sejak masih remaja belasan tahun ... namun hasratnya terhadap dunia politik, diredam oleh penilaiannya sendiri bahwa dunia politik itu pada dasarnya lumpur kotor. Semua orang seputar Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan partai dan politisi terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental "asal bapak senang", serta "yes men", atau sudah pasrah.

Pandangan ini menjadi latar belakang pembelaan Soe akan kekuatan moral dalam politik di awal tahun 1966. Keikutsertaannya dalam politik hanya untuk sementara. Pada pertengahan tahun yang sama, dia menyampaikan argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa untuk mundur dari arena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas, membangun kembali institusi politik bangsa." Demikian tulis Maxwell.

Soe memang sudah bersikap. Dia memilih mendaki gunung daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam, Soe ternyata juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung.

Pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI, selain kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang nonton film, juga penggemar berat folksong (meski sama sekali tak becus bernyanyi merdu). Berbadan kurus nyaris kerempeng, di gunung makannya gembul.

Bagi pemuda dan khususnya mahasiswa demonstran, masih ada potongan puisi Hok Gie yang sempat tercecer, baru muncul di harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973. Judulnya "Pesan" dan cukilan pentingnya berbunyi:

Hari ini aku lihat kembali

Wajah-wajah halus yang keras

Yang berbicara tentang kemerdekaaan

Dan demokrasi

Dan bercita-cita

Menggulingkan tiran



Aku mengenali mereka

yang tanpa tentara

mau berperang melawan diktator

dan yang tanpa uang

mau memberantas korupsi



Kawan-kawan

Kuberikan padamu cintaku

Dan maukah kau berjabat tangan

Selalu dalam hidup ini?