BloG ini berisi kumpulan tulisan menarik dari berbagai milis dan juga tulisan2 saya di beberapa milis. Topik yg menarik minat saya tentang manusia, kebudayaan, teknologi, management, marketing dan keagamaan...krn banyak posting menarik dari milis yg sayang kalau tidak di dokumentasi. Semoga ada gunanya... :P Silahkan dikomentari dan dikritisi jika ada hal-hal yg tidak sesuai dengan opini anda. Just feel free to write....OK...? :)

Thursday, December 30, 2004

Gunung Jangan Pula Meletus

Oleh Emha Ainun Nadjib


KHUSUS untuk bencana Aceh, saya terpaksa menemui Kiai Sudrun. Apakah

kata mampu mengucapkan kedahsyatannya? Apakah sastra mampu menuturkan

kedalaman dukanya? Apakah ilmu sanggup menemukan dan menghitung

nilai-nilai kandungannya?



Wajah Sudrun yang buruk dengan air liur yang selalu mengalir pelan dari

salah satu sudut bibirnya hampir membuatku marah. Karena tak bisa

kubedakan apakah ia sedang berduka atau tidak. Sebab, barang siapa tidak

berduka oleh ngerinya bencana itu dan oleh kesengsaraan para korban yang

jiwanya luluh lantak terkeping- keping, akan kubunuh.



"Jakarta jauh lebih pantas mendapat bencana itu dibanding Aceh!," aku

menyerbu.



"Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran," Sudrun menyambut

dengan kata- kata yang, seperti biasa, menyakitkan hati.



"Jadi, kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?"



"Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh

dinikahkan dengan surga."



"Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir amat dan paling

menderita dibanding kita senegara, kenapa masih ditenggelamkan ke

kubangan kesengsaraan sedalam itu?"



"Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya

sehingga derajat orang Aceh ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan

untuk terus menjalani kerendahan."



"Termasuk Kiai...."



Cuh! Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak

dahulu kala. Kuusap dengan kesabaran.



"Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak

kepada gerombolan maling dan koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa

Tuhan masih kurang kenyang melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh

selama ini, di tengah perang politik dan militer tak berkesudahan?"



Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari

kata-kataku. Badannya terguncang-guncang.



"Kamu mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan Tuhan? Mempersalahkan

ketidakadilan Tuhan?" katanya.



Aku menjawab tegas, "Ya."



"Kalau Tuhan diam saja bagaimana?"



"Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan

terus mempertanyakan."



"Sampai kapan?"



"Sampai kapan pun!"



"Sampai mati?"



"Ya!"



"Kapan kamu mati?"



"Gila!"



"Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu mempertanyakan

kenapa ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu

bahkan tidak tahu apa yang akan kamu katakan sendiri lima menit

mendatang. Kamu juga tidak tahu berapa jumlah bulu ketiakmu. Kamu

pengecut. Untuk apa mempertanyakan tindakan Tuhan. Kenapa kamu tidak

melawanNya. Kenapa kamu memberontak secara tegas kepada Tuhan. Kami

menyingkir dari bumiNya, pindah dari alam semestaNya, kemudian kamu

tabuh genderang perang menantangNya!"



""Aku ini, Kiai!" teriakku, "datang kemari, untuk merundingkan hal-hal

yang bisa menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan adalah diktator

dan otoriter...."



Sudrun malah melompat- lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya.

Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.



"Kamu jahat," katanya, "karena ingin menghindar dari kewajiban."



"Kewajiban apa?"



"Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter.

Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar

menerimanya, dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya.

Tuhan-lah satu-satunya yang ada, yang berhak bersikap diktator dan

otoriter, sebagaimana pelukis berhak menyayang lukisannya atau

merobek-robek dan mencampakkannya ke tempat sampah. Tuhan tidak

berkewajiban apa- apa karena ia tidak berutang kepada siapa-siapa, dan

keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapa pun. Tuhan tidak terikat

oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan

tidak harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan salah yang

harus taat kepadaNya. Ainun, Ainun, apa yang kamu lakukan ini? Sini,

sini..."-ia meraih lengan saya dan menyeret ke tembok-"Kupinjamkan

dinding ini kepadamu...."



"Apa maksud Kiai?," aku tidak paham.



"Pakailah sesukamu."



"Emang untuk apa?"



"Misalnya untuk membenturkan kepalamu...."



"Sinting!"



"Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal pembelajaran yang

terbaik untuk cara berpikir yang kau tempuh."



Ia membawaku duduk kembali.



"Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk

manusia menurut pertimbanganmu?," ia pegang bagian atas bajuku.



"Kamu tahu Muhammad?", ia meneruskan, "Tahu? Muhammad Rasulullah

shallallahu 'alaihi wa alihi wasallah, tahu? Ia manusia mutiara yang

memilih hidup sebagai orang jelata. Tidak pernah makan kenyang lebih

dari tiga hari, karena sesudah hari kedua ia tak punya makanan lagi. Ia

menjahit bajunya sendiri dan menambal sandalnya sendiri. Panjang

rumahnya 4,80 cm, lebar 4,62 cm. Ia manusia yang paling dicintai Tuhan

dan paling mencintai Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang kampung Thaif

diizinkan melemparinya dengan batu yang membuat jidatnya berdarah. Ia

bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat panas badan oleh racun Zaenab

wanita Yahudi. Cucunya yang pertama diizinkan Tuhan mati diracun

istrinya sendiri. Dan cucunya yang kedua dibiarkan oleh Tuhan dipenggal

kepalanya kemudian kepala itu diseret dengan kuda sejauh ratusan

kilometer sehingga ada dua kuburannya. Muhammad dijamin surganya, tetapi

ia selalu takut kepada Tuhan sehingga menangis di setiap sujudnya.

Sedangkan kalian yang pekerja annya mencuri, kelakuannya penuh

kerendahan budaya, yang politik kalian busuk, perhatian kalian kepada

Tuhan setengah-setengah, menginginkan nasib lebih enak dibanding

Muhammad? Dan kalau kalian ditimpa bencana, Tuhan yang kalian salahkan?"



Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke

belakang.



"Kiai," kata saya agak pelan, "Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa

icon utama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim...."



"Sangat benar demikian," jawabnya, "Apa yang membuatmu tidak yakin?"



"Ya Aceh itu, Kiai, Aceh.... Untuk Aceh-lah aku bersedia Kiai ludahi."



"Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku meludahimu. Yang terjadi

adalah bahwa kamu pantas diludahi."



"Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu...."



"Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim

cinta lubuk hati. Kenapa?"



"Aceh, Kiai, Aceh."



"Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi.

Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang segera dipisahkan

oleh Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka langsung ke

surga dengan rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada saudara-

saudara mereka yang ditinggalkan, porak poranda kampung dan kota mereka

adalah medan pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh,

karena sesudah ini Tuhan menolong mereka untuk bangkit dan menemukan

kembali kependekaran mereka. Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu

sehingga mengatasi segala tema Aceh Indonesia yang menyengsarakan mereka

selama ini. Rakyat Aceh dan Indonesia kini terbebas dari blok-blok

psikologis yang memenjarakan mereka selama ini, karena air mata dan duka

mereka menyatu, sehingga akan lahir keputusan dan perubahan sejarah yang

melapangkan kedua pihak".



"Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan para korban sukar

dibayangkan akan mampu tertanggungkan."



"Dunia bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau bagimu orang yang

tidak mati adalah selamat sehingga yang mati kamu sebut tidak selamat,

buang dulu Tuhan dan akhirat dari konsep nilai hidupmu. Kalau bagimu

rumah tidak ambruk, harta tidak sirna, dan nyawa tidak melayang, itulah

kebaikan; sementara yang sebaliknya adalah keburukan- berhentilah

memprotes Tuhan, karena toh Tuhan tak berlaku di dalam skala berpikirmu,

karena bagimu kehidupan berhenti ketika kamu mati."



"Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang tak berdosa,

sementara membiarkan para penjahat negara dan pencoleng masyarakat hidup

nikmat sejahtera?"



"Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para pencoleng itu di neraka

kelak tidak terlalu lama. Jadi dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa

dan kebodohannya. Bukankah cukup banyak tokoh negerimu yang baik yang

justru Tuhan bersegera mengambilnya, sementara yang kamu doakan agar

cepat mati karena luar biasa jahatnya kepada rakyatnya malah panjang

umurnya?"



"Gusti Gung Binathoro!," saya mengeluh, "Kami semua dan saya sendiri,

Kiai, tidaklah memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran

dengan yang disuguhkan oleh perilaku Tuhan."



"Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu bagaimana pola perilaku

Tuhan. Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit

itu sehingga politiknya memuakkan, ekonominya nggraras dan kebudayaannya

penuh penghinaan atas martabat diri manusia sendiri-maka Tuhan justru

menambahi penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang

sejati yang jauh lebih dahsyat. Yang di Aceh bukan bencana pada

pandangan Tuhan. Itu adalah pemuliaan bagi mereka yang nyawanya diambil

malaikat, serta pencerahan dan pembangkitan bagi yang masih dibiarkan

hidup."



"Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai ketidakadilan...."



"Alangkah dungunya kamu!" Sudrun membentak, "Sedangkan ayam menjadi

riang hatinya dan bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia

meski ayam tidak memiliki kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang

dan bersyukur."



"Jadi, para koruptor dan penindas rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?"



"Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang kepada mereka

sehingga selama satu dua bulan terakhir ini diberi peringatan

berturut-turut, baik berupa bencana alam, teknologi dan manusia, dengan

frekuensi jauh lebih tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya. Tetapi,

karena itu semua tidak menjadi pelajaran, mungkin itu menjadikan Tuhan

mengambil keputusan untuk memberi peringatan dalam bentuk lebih dahsyat.

Kalau kedahsyatan Aceh belum mengguncangkan jiwa Jakarta untuk mulai

belajar menundukkan muka, ada kemungkinan...."



"Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!" aku memotong, karena ngeri

membayangkan lanjutan kalimat Sudrun.



"Bilang sendiri sana sama gunung!" ujar Sudrun sambil berdiri dan

ngeloyor meninggalkan saya.



"Kiai!" aku meloncat mendekatinya, "Tolong katakan kepada Tuhan agar

beristirahat sebentar dari menakdirkan bencana-bencana alam...."



"Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan,

kenapa tak kau pakai istilah bencana Tuhan?"



Sudrun benar-benar tak bisa kutahan. Lari menghilang.



0 Comments:

Post a Comment

<< Home