BloG ini berisi kumpulan tulisan menarik dari berbagai milis dan juga tulisan2 saya di beberapa milis. Topik yg menarik minat saya tentang manusia, kebudayaan, teknologi, management, marketing dan keagamaan...krn banyak posting menarik dari milis yg sayang kalau tidak di dokumentasi. Semoga ada gunanya... :P Silahkan dikomentari dan dikritisi jika ada hal-hal yg tidak sesuai dengan opini anda. Just feel free to write....OK...? :)

Friday, September 24, 2004

Telekomunikasi dan Implikasi Privatisasi

Bisnis Indonesia, 9 September 2004

Diakui atau tidak, sektor telekomunikasi telah berperan signifikan bagi perkembangan perekonomian global. Hal ini disebabkan telekomunikasi merupakan infrastruktur pendukung utama bagi kegiatan ekonomi dibelahan dunia manapun. Artinya, keberadaan dan peran telekomunikasi telah menjadi urat nadi (lifeblood) kegiatan perekonomian secara mondial dan berfungsi sebagai sarana peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Secara historis, keberadaan layanan telepon tetap misalnya, telah banyak memberikan manfaat terhadap kegiatan ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Manfaat tersebut, semakin dirasakan masyarakat dengan berkembangnya telepon seluler, yang dibarengi peningkatan kualitas dan variasi layanan yang semakin memudahkan penggunanya. Kondisi tersebut, telah memicu peningkatan jumlah pengguna telepon seluler secara drastis-khususnya di negara-negara berkembang- ketimbang telepon tetap (fixed-lines).

Terbukti, hasil kajian ITU (Inter-national Telecommunication Union) menunjukkan pelanggan seluler di negara-negara berkembang telah meningkat secara signifikan, yakni dari tiga juta pada 1993 menjadi 500 juta pada 2002.

Bahkan akhir 2002, pengguna telepon seluler di negara-negara berkembang sudah berjumlah 1,155 miliar orang, sedang pelanggan telepon tetap (fixed line) baru berjumlah 1,129 miliar. Jumlah ini mengindikasikan satu diantara lima orang penduduk dunia telah memiliki telepon seluler, dan sebanyak 45,8% pengguna tersebut berada di negara-negara berkembang (ITU News; Ok-tober 2003).

Bila dicermati, peningkatan kuantitas pengguna telepon (terutama seluler) di berbagai belahan dunia, tidak hanya dipicu perkembangan teknologi wireless yang menawarkan kemudahan akses berkomunikasi kapan dan dimana saja bagi penggunanya.

Tetapi juga dikarenakan privatisasi penyelenggaraan telekomunikasi telah memicu peningkatan akses (connectivity) dan penurunan tarif (affordability) dalam bertelekomunikasi dari dan ke berbagai negara. Fenomena tersebut telah menimbulkan pertanyaan, benarkah privatisasi mampu menurunkan tarif sekaligus meningkatkan akses masyarakat dalam bertelekomunikasi?

Studi literatur menunjukkan rasionalisasi pemilikan pemerintah terhadap jaringan maupun jasa telekomunikasi, paling tidak didukung dan berdasarkan lima prinsip.

Natural monopoly

Pertama, telekomunikasi merupakan industri yang bersifat natural monopoly dan karenanya pengoperasian-dalam arti pembinaan, pengawasan dan penyelenggaraan-telekomunikasi secara monopoli oleh pemerintah dinilai lebih efisien dan menguntungkan pemerintah maupun masyarakat.

Kedua, pemilikan dan penyelenggaraan telekomunikasi oleh pemerintah bertujuan untuk menjadikan telekomunikasi sebagai sarana yang dapat berfungsi menyeimbangkan tujuan berbagai kegiatan ekonomi maupun sosial, dan tidak semata-mata untuk memaksimalkan keuntungan (profit oriented) secara ekonomis (Choski, 1979).

Prinsip ketiga, untuk membantu mengoreksi kegagalan pasar (Sap-pington dan Stiglitz, 1997) dan mengurangi ketimpangan pendapatan (Wilner, 1996). Alasannya, monopoli penyelenggaraan telekomunikasi di tangan pemerintah akan menyebabkan terjadinya peningkatan drastis jumlah jaringan dan jasa telekomunikasi.

Peningkatan tersebut, pada gilirannya akan berkontribusi signifikan bagi perkembangan perekonomian nasional suatu negara.

Prinsip keempat, alasan pembenar (raison d'etrat) bagi pemilikan telekomunikasi oleh pemerintah-dalam beberapa kondisi tertentu-berkaitan dengan masalah asimmetric information antara principal (pemilik atau masyarakat) dengan agen (operator).

Pasalnya, keberadaan masalah tersebut membuat kontrak dan penyelengaraan telekomunikasi tidak dapat dijalankan secara komplet, kecuali bila ada keterlibatan aktif (pemilikan) pemerintah dalam penyelenggaraan tetekomunikasi.

Secara ekonomis, prinsip keharusan bisnis telekomunikasi dikelola pemerintah secara monopoli dengan alasan efisiensi, sudah tidak valid dan relevan lagi.

Alasannya, perkembangan teknologi telekomunikasi telah menurunkan biaya pembangunan jaringan dan jasa telekomunikasi secara drastis, sehingga penyelenggaraan telekomunikasi oleh beberapa operator akan berimplikasi pada pengembangan jaringan dan layanan dengan tarif murah.

Demikian pula ketiga prinsip lainnya, yang berasumsi pemerintah merupakan pihak benevolent dan honest broker yang memiliki kemampuan dan informasi lebih akurat dibanding pihak swasta, sudah tidak aktual lagi. Karena kenyataan menunjukkan, pihak swasta (penyelenggara telekomunikasi) lebih pintar ketimbang pemerintah.

Selain itu asumsi-yang sejatinya menganggap pemerintah dapat menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi- tersebut sulit dibuktikan kebenarannya.

Sejarah peradaban manusia mengajarkan betapa pemerintah (baik politikus maupun birokrat) cenderung bertindak berdasarkan kepentingan pribadi dan bukan kepentingan seluruh lapisan masyarakat.

Lagi pula berdasarkan pandangan public choice theory, asumsi yang mendasari ketiga prinsip tersebut secara filosofi dan kenyataan empiris sulit dibuktikan dan diterima kebenarannya.

Pasalnya, politikus atau birokrat yang menjadi "share holder" sebenarnya bukan merupakan prinsipal (pemilik), tetapi lebih merupakan agen juga, seperti halnya manajemen (direksi), sehingga insentif untuk melakukan sejatinya pengawasan terhadap perilaku manajemen tergolong rendah.

Manfaatkan BUMN

Selain itu, politikus atau birokrat ditengarai seringkali memanfaatkan BUMN telekomunikasi, lebih-lebih pada saat pemilu seperti sekarang ini-sebagai money machine dalam meraup dana bagi kepentingan pribadi maupun partai yang diwakilinya.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemilikan dan pengoperasian bisnis telekomunikasi oleh pemerintah harus dihentikan melalui program yang terencana dan menguntungkan segenap lapisan masyarakat.

Artinya, pelepasan kepemilikan pemerintah (melalui privatisasi) dalam penyelenggaraan telekomunikasi, tidak hanya bertujuan menutupi defisit anggaran APBN setiap tahunnya, tetapi juga dimaksudkan meningkatkan aksesibiltas masyarakat dalam bertelekomunikasi dengan tarif terjangkau (affordable).

Tindakan privatisasi yang tidak disertai dengan strategi dan timing yang tepat, hanya akan menghasilkan pemindahan hak pengelolaan dari pemerintah kepada pihak swasta, dan tidak menghasilkan peningkatan akses dan penurunan tarif dalam bertelekomunikasi.

Bahkan yang terjadi bisa sebaliknya, yakni peningkatan tarif. Karena secara logis, tujuan utama setiap perusahaan ialah bagaimana meraup keuntungan sebanyak mungkin.

Terbukti, tindakan privatisasi terhadap BUMN telekomunikasi yang dilakukan selama ini, hanya menghasilkan penurunan harga perangkat (equipment) telekomunikasi dan belum mampu menurunkan tarif dalam bertelekomunikasi, bahkan yang terjadi justru kenaikan secara berkala.

Bila ditelisik, penyebab timbulnya permasalahan tersebut dipicu oleh dua faktor. Pertama, ketidakjelasan flatform privatisasi, yang dapat dilihat dari belum fokusnya arah dan tujuan privatisasi BUMN telekomunikasi. Kedua, tindaklanjut privatisasi yang dituangkan dalam berbagai kebijakan regulasi yang mendukung kompetisi penyelengaraan jaringan dan jasa telekomunikasi, be-lum dilaksanakan secara maksimal.

Akibat lanjutan yang ditimbulkan kedua faktor tersebut, telah mendorong incumbent mempraktekkan perilaku (conduct) anti kompetisi terhadap pesaingnya. Perjanjian kerja sama antara PT Telkom dengan pengelola wartel-yang bersepakat menyalurkan akses SLI dari wartel, hanya boleh dilakukan melalui nomor SLI PT Telkom (007 dan 017)-merupakan bukti konkret belum dilaksankannya regulasi kompetisi secara optimal.

Bahkan fenomena anti kompetisi tersebut, disinyalir memicu para operator seluler-yang struktur pasar layanannya sudah berbentuk full competion-menerapkan strategi bisnis yang bertentangan dengan ketentuan hukum.

Misalnya, penetapan tarif tinggi yang disepakati secara bersama oleh para operator seluler berdasarkan konsep kartel maupun tacit collucion. Akibatnya, alih-alih penurunan tarif, yang terjadi justru kenaikan tarif.

Oleh Abdul Salam Taba
Alumnus Newcastle School of Economics, The University of Newcastle, Australia.

3 Comments:

Blogger alumni STAN said...

nice blog...!!

December 24, 2007 at 8:39 AM

 
Blogger Dummies said...

keep on blogging,.Memang sampai sekarang yang konsumen masih sangat di rugikan dalam...wong sms biayanya kurang lebih Rp.76,- eee..kita dikenakan biaya oleh operator dgn berlipat lipat....silahkan

salam kenal

January 8, 2008 at 3:43 PM

 
Anonymous Anonymous said...

nice post gan....
like this....!!!
klo ane akan bilang bahwa konsumen sampai detik ini msh cukup di rugikan ( untuk tdk mengatakan sangat di rugikan loh....hehehehehe )
banyak hal yang terkait dengan masalah perlindungan hak konsumen dan ane yakin agan-agan smeua lbh faham disisi mana sbenarnya kita sebagai konsumen cukup di rugikan...
salam kenal n sukses u kita semua...
ane tgu kedatangan-nya di lapak ane >> http://haycallnow.ifo

April 25, 2011 at 9:50 PM

 

Post a Comment

<< Home