DERAJAT MANUSIA PILIHAN ALLAH
(dr milis Daarut-Tauhiid)
Mawlana Syaikh Nazhim Adil al Haqqani
Al-Hasan ibn al-Manshûr berkata:"Diri seorang hamba
pilihan Tuhan melebur dalam Kehadiran Tuhan. Tidak ada
orang yang tahan dengan orang semacam itu, dan orang
itu juga tidak tahan dengan standard perilaku yang
diterima oleh) orang kebanyakan. Namun, seorang hamba
pilihan Tuhan itu laksana bumi; ia menerima segala
jenis sampah tapi hanya menghasilkan yang baik-baik.
Baik orang saleh maupun pendosa berjalan dan
berkeliling di bumi sebagai hamba Tuhan. Dan
seburuk-buruknya makhluk ciptaan Tuhan adalah mereka
yang merasa menjadi pilihan Tuhan, padahal mereka
sebenar nya sangat kikir.
Al-Syiblî mengatakan, ?hamba pilihan Tuhan terlepas
dari ciptaan dan terkait pada Kebenaran (al-Haqq).?
Ibn ?Ajîbâh meriwayatkan, ?Seseorang yang telah
mencapai maqam yang begitu dekat dengan Tuhan, ia
menjadi tak tertahankan. Gunung pun tidak dapat
memanggulnya.? Kondisi semacam ini merupakan
karakteristik orang yang telah mencapai maqam
peleburan diri (fanâ?).
Al-Hasan ibn al-Manshûr menulis tentang seseorang yang
lebur dalam cintanya kepada Allah:" Orang kebanyakan
sulit menerima orang yang telah kehilangan segenap
kesadaran dirinya, dan yang kehilangan kesadaran diri
di sisi berada dalam ketakjuban yang sangat di hadapan
Eksistensi Mutlak Tuhan. Siapa pun yang mencapai maqam
itu dan berusaha membeberkan rahasianya, maka ia akan
bertingkah laku di luar kebiasaan manusia kebanyakan.
Oleh karena itu, kekasih Tuhan (awliyâ? Allâh) yang
mencapai maqam itu akan menyembunyikan diri. Kisah
dalam Alquran tentang Khidhr melukiskan fenomena ini.
Ia melakukan tindakan yang tidak biasa dilakukan orang
lain; tindakan-tindakan yang sulit diterima oleh Mûsâ
as sekalipun. Dengan contoh kisah tersebut, Allah
memerintahkan kita untuk mengambil pelajaran, bukan
karena Mûsâ lebih rendah maqamnya (daripada Khidhr).
Bagaimanapun juga ia adalah salah seorang dari lima
nabi teragung (ûlû al-?azm).
Tak seorang pun mencapai derajat para nabi ataupun
sahabat nabi. Dengan menginformasikan kisah pertemuan
Mûsâ dengan Khidhr, Alquran hendak memberi kita contoh
tentang seseorang yang telah begitu dekat dengan Allah
dan menjadi salah satu hamba-Nya yang suci. Manusia
semacam itu dilukiskan dalam sebuah hadis qudsi
sebagai berikut, ?Hamba-hamba-Ku yang suci ada di
bawah kubah-Ku; hanya Aku yang tahu tentang mereka.?
Allah sendiri menyembunyikan hamba-hamba-Nya yang
suci, karena mereka luar biasa berharga bagi-Nya.
Hadis lain melukiskan, ?Siapa pun yang bermusuhan
dengan kekasih-Ku, maka Aku mengumumkan perang
terhadapnya.? Di tengah-tengah masyarakat kebanyakan,
para kekasih Tuhan akan mengucapkan dan melakukan
sesuatu yang sulit diterima orang lain. Inilah maksud
dari perkataan Ibn ?Ajîbâh, ?Tidak ada orang yang
tahan dengan orang semacam itu.?
Itulah sebabnya, ketika Nabi Muhammad saw. diutus
Tuhan, masyarakatnya menolak dirinya. Semua nabi
mendapatkan penolakan dari masyarakat mereka. Kalau
kasus semacam itu terjadi pada para nabi, bagaimana
dengan para wali? Sudah menjadi sunatullah bahwa
mereka akan sepenuhnya ditolak oleh masyarakat
kebanyakan, karena para wali adalah manusia biasa yang
dianugerahi Tuhan dengan kekuatan langit.
Para ulama masa kini mengatakan bahwa para wali sudah
tak ada lagi. Ini tidak benar. Yang benar, mereka
sudah buta sehingga tak bisa mengetahui keberadaan
para wali. Mengapa buta? Karena para wali menyembunyi
kan diri mereka, terutama pada masa sekarang ini.
Mereka tahu bahwa tidak ada orang yang akan menerima
mereka beserta kekuatan yang diberikan Tuhan kepada
mereka. Jika mereka memperlihatkan kekuatan yang
mereka miliki, orang-orang akan menentang mereka.
Maqam tertinggi wali adalah ketika ia bertingkah
seperti manusia biasa dan tidak menampakkan perbedaan
perilaku dengan masyarakat kebanyakan. Seorang wali
berperilaku layaknya manusia biasa hingga orang lain
akan berkomentar, ?Dia seperti kita. Apa bedanya??
Yang tidak mereka ketahui tentang dirinya adalah bahwa
ia telah diuji oleh para wali; para nabi; dan Tuhan
yang Mahaagung. Ia telah lulus dalam tes tersebut dan
memperoleh amanat spiritual.
Ibn ?Ajîbâh melanjutkan, ?orang itu juga tidak tahan
dengan (standar perilaku yang diterima oleh) orang
kebanyakan.? Ini berarti ia menyaksikan betapa mereka
telah tersesat, dan menyeru mereka untuk kembali ke
jalan Tuhan, tetapi mereka tak mau mendengar. Setelah
beberapa lama, akhirnya wali itu pergi meninggalkan
mereka. Bayâzîd al-Bisthâmî, salah seorang wali
terbesar, selalu beribadah kepada Allah, bertakarub
hingga ia bisa mendengar pembicaraan para malaikat.
Ia telah sampai pada maqam di mana ia berusaha
mendekati Tuhan sambil berdoa, ?Ya Rabb, bukalah
bagiku pintu menuju Kehadiran-Mu!? Ia lalu mendengar
suara dalam hatinya yang berujar, ?Hai Bayâzîd, jika
engkau ingin berada di sisi-Ku, engkau harus menjadi
tiang yang tak diindahkan orang.? Makanya al-Hasan ibn
al-Manshûr berkata, ?hamba pilihan Tuhan ibarat bumi;
ia menerima segala jenis sampah tapi hanya menghasil
kan yang baik-baik. Baik orang saleh maupun pendosa
berjalan di atasnya (bumi).?
?Bumi? dimaknai sebagai kekuatan. Apa pun Kehendak
Tuhan, bumi menerimanya. Ia tak memiliki kehendak
sendiri. Nah, para waliullah mirip dengan bumi: ?semua
hal yang kotor dan buruk dilempar ke bumi,? dan ia
tetap menerimanya. Kata Arab ?qabîh? tak sekadar
bermakna ?kotor? dan ?buruk? tapi juga bermakna ?bau?
dan ?busuk? yang menggambarkan sampah paling jelek
yang dibuang ke bumi. Tetapi, setelah menerima sampah
busuk itu, ?bumi hanya menghasilkan yang baik-baik.?
Wali tidak memperlakukan kita seperti kita memperlaku
kan dirinya. Segala bentuk keburukan yang ia terima,
akan ia balas dengan kebaikan. Diriwayatkan bahwa
Bayâzîd perna menguji para ulama dengan
ungkapan-ungkapan yang sangat ekstatis (syathâhât)
hingga akhirnya mereka merajamnya. Itu terjadi karena
ketidakpahaman mereka terhadap maqam di mana ia
berucap. Bayâzîd bukanlah orang yang suka memperbuat
bidah, bahkan Ibn Taymiyyah sekalipun memuji
kesalehannya. Tetapi, ia hanya bermaksud menguji
mereka, karena mereka juga sebenarnya telah berusaha
menguji dirinya.
Akhirnya, seusai mereka merajam Bayâzîd, jasadnya
dilemparkan ke tempat pembuangan sampah. Sebenarnya ia
masih hidup, tetapi badannya sangat lemah. Setelah
terbaring dalam kondisi luka-luka selama tujuh hari,
tenaganya sedikit pulih dan ia bisa menggerakkan
badannya. Ia mulai mencari sesuatu yang bisa dimakan,
dan menemukan sepotong tulang dengan sedikit daging
busuk, yang mungkin dibuang orang seminggu sebelumnya.
Ketika ia hendak memungutnya, muncul seekor anjing
yang menggonggong dan berkata kepadanya, ?Ini wilayah
kekuasaanku, dan itu makananku. Kamu tak boleh
mengambilnya.? Tuhan memberinya kemampuan memahami
bahasa binatang.
Bayâzîd meriwayatkan, ?Aku bermunajat kepada Tuhan, Ya
Allah, ya Tuhanku, apa yang telah aku lakukan adalah
demi cintaku pada-Mu. Aku ingin mereka membunuhku,
tapi Engkau membuatku bergerak dan hidup. Dan ketika
aku hidup kembali, aku ingin mereka kembali mengantar
ku kepada kematian; lalu Engkau kembali membuatku
bergerak dan hidup, dan mereka akan merajamku lagi
kemudian. Engkau pun kembali menghidupkanku, begitu
berulang-ulang karena setiap kali mereka merajamku,
aku berdoa agar Engkau, Tuhanku, mengampuni dosa-dosa
mereka. Apa pun yang Engkau berikan sebagai balasan
doa dan perjuangan batinku, Engkau, ya Rabb, membuat
mereka berbagi pahala denganku.?
Kisah ini menunjukkan bagaimana kebanyakan wali akan
mencintai hamba-hamba-Nya ketika ia masuk ke dalam
cinta-Nya. Kini banyak sarjana muslim berkata, ?Para
wali sudah tak ada lagi.? Sebenarnya mereka masih ada,
namun karena hanya sedikit orang yang akan bisa
memahami kondisi para wali, maka mereka bersembunyi.
Pernyataan lain dari para ulama masa kini adalah,
Setiap mukmin itu wali.? Kalaulah demikian, tentu
Tuhan tak akan membedakan antara mukmin dan wali.
Walaupun demikian, siapakah yang benar-benar bisa
mengatakan bahwa dirinya seorang mukmin? Apakah mereka
tidak ingat dengan firman Allah: "Orang-orang Arab
badui itu berkata, ?Kami telah beriman.? Katakanlah
(kepada mereka), ?Kalian belum beriman, tetapi
katakanlah bahwa kami telah tunduk.? Karena iman itu
belum masuk ke dalam hati kalian, dan jika kalian taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi
sedikit pun pahala amalan kalian. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q 49:14)
Siapa yang dapat menjamin seseorang bahwa iman sudah
masuk ke dalam hatinya? Jaminan semacam itu tidak
diberikan oleh seorang muslim kepada muslim lainnya;
itu diberikan oleh Allah kepada orang yang percaya.
Di mana pun mereka berada, para wali akan membangun
tempat ibadah, zawiat, khâniqah, atau ribat
(tempat-tempat berkumpul untuk latihan dan praktik
spiritual). Setelah selesai dibangun, orang-orang dari
tempat yang jauh akan berdatangan mengunjungi tempat
tersebut, dan akan disambut.
Mereka (para wali) tak akan mengatakan, ?Kami tidak
mau menemui si ini atau si itu.? Pada zaman sekarang,
orang-orang biasanya berkata, ?Orang-orang ini musuh.
Kami tak bisa menemui mereka. Orang-orang ini suka
menghujat kami. Kami tak bisa menjumpai mereka.?
Tetapi, Nabi saw. menemui semua orang, entah kawan
maupun lawan. Dan Kami tidak mengutus kamu melainkan
kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahui. (Q 34:28)
Jika musuh hendak menemui, beliau tetap akan berkenan
membukakan pintu. Karena para waliullah merupakan
pewaris maqam dan sifat para nabi, pintu mereka juga
harus selalu terbuka. Jika tidak, maka apa gunanya
kewalian? Allah menganugerahi kewalian kepada mereka
agar mereka membukakan telinga kepada manusia, bergaul
dengan mereka, dan menyeru mereka ke dalam Islam.
Ketika kita menutup pintu dan berkata, ?Aku tidak
bergaul dengan orang-orang itu,? berarti kita telah
mengucilkan diri sendiri dan menjadi penghalang jalan
menuju-Nya.
Kita harus bergaul dengan orang-orang dari berbagai
keyakinan, agama, dan kelompok untuk membawa mereka
kepada Kebenaran. Itulah sebabnya Syekh Agung menemui
setiap orang, dan kita berusaha mengikuti langkahnya.
Kita tak bisa menutup pintu dan berkata, ?Kalian bukan
anggota kelompok kami.? Kini segala sesuatu didasarkan
pada keanggotaan?demi uang. Mereka akan berkata,
Bayarlah lima ratus ribu dan Anda bisa menjadi anggota
kami.? Tidak ada lagi amal yang dilakukan secara
ikhlas karena Allah. ?Baik orang saleh maupun pendosa
berjalan dan berkeliling di atas bumi sebagai hamba
Tuhan.? Artinya, ia akan menanggung beban?ia tempat
pembuangan sampah semua orang. Sebagai balasannya, ia
justru mendoakan orang-orang agar hati mereka
berpaling kepada Tuhan.
Hamba pilihan Tuhan mengerahkan kemampuan terbaik
mereka untuk orang lain meskipun mereka memperlakukan
nya dengan sangat buruk. Itulah sebabnya dikatakan
bahwa baik orang saleh maupun pendosa berjalan di atas
bumi. Ibn ?Ajîbâh berkata, ?Dan sejahat-jahatnya
makhluk ciptaan Tuhan adalah mereka yang merasa
menjadi pilihan Tuhan, padahal mereka sebenarnya tidak
dermawan.? Seorang hamba pilihan Tuhan sangat
dermawan. Ia tidak pelit. Seorang hamba Tuhan selalu
bermurah hati dengan segala pemberian Tuhan, dan tidak
menahannya. Dan Allah Maha Memberi.
Nabi Muhammad saw. digambarkan Tuhan sebagai berikut:
"amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang
yang beriman. (Q 9:128) Dan tiada Kami mengutus kamu,
melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (Q
21:107). Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi
Muhammad saw. akan meminta ampunan kepada Allah bagi
semua orang. Singkatnya, seorang hamba Tuhan tidak
boleh kikir. Manusia terburuk adalah mereka yang
mengklaim sebagai hamba pilihan Tuhan padahal mereka
bakhil. Bukan bakhil dalam urusan harta, tetapi bakhil
dalam arti tidak mau menanggung kesulitan orang lain
dan mengambil apa pun bentuk kebaikan yang dilimpahkan
Tuhan, untuk diberikan kepada orang lain.
Yang lebih buruk lagi adalah para hamba Tuhan yang
telah dianugerahi ilmu pengetahuan agama dan
makna-maknanya yang terdalam tetapi menyimpan ilmu
pengetahuan itu untuk diri sendiri dengan tidak
mengajarkannya kepada orang yang mampu menerimanya.
Mereka adalah para ulama yang mengemukakan kebohongan
tentang Tuhan dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan
Tuhan. Pada masa sekarang kita bisa menunjukkan banyak
contoh mengenai hal semacam itu. Mereka, misalnya,
mengatakan bahwa Tuhan menginginkan agar manusia
mengabdikan hidupnya untuk kejahatan, mengejar tujuan
yang keliru, atau menyebarkan doktrin palsu.
Mereka hamba-hamba Tuhan yang bakhil secara spiritual.
Orang-orang semacam itu tak akan sukses dan, pada hari
pembalasan kelak, mereka akan dimasukkan ke dalam
golongan yang merugi. Mereka ibarat pohon yang dihiasi
dengan bunga-bunga yang indah pada musim semi, tetapi
meranggas dan tak berbuah pada musim gugur.
Untuk lebih jelasnya, seorang hamba Tuhan yang sejati
akan membawa dosa-dosa mereka yang berada dalam
bimbingannya dengan memohon ampunan Tuhan bagi mereka
dan dengan meminta-Nya untuk menganugerahi mereka apa
pun balasan pahala yang ia terima dari maqam apa pun
yang ia duduki saat itu. Ini berlaku bagi siapa pun
yang datang menemuinya.
Nabi bersabda: "Tuhan memerintahkan para malaikat
untuk menelusuri jalanan guna mencari orang-orang yang
sedang mengingat diri-Nya (berzikir). Ketika mereka
menemukan sekelompok orang yang sedang berzikir,
mereka akan memanggil malaikat yang lain dan para
malaikatpun mengerumuni tempat itu secara
berlapis-lapis hingga langit pertama. Lalu seseorang
yang bukan berasal dari kelompok tersebut, tapi hanya
datang untuk mendengarkan persoalan khusus, duduk
bersama mereka. Allah berfirman, ?Penyesalan tak akan
menimpa siapa pun yang duduk bersama mereka.?
Itu berarti seseorang yang datang hanya selama
beberapa menit, meskipun bukan termasuk anggota
kelompok tersebut, tetap akan memperoleh balasan
karena telah berkumpul bersama mereka. Siapa pun yang
datang menemui seorang wali, ia akan memberi orang itu
apa pun yang telah diberikan Tuhan dan nabi-Nya kepada
dirinya. Itulah makna kemurahan hati?lawan dari sikap
kikir. Itu berarti memberikan dengan penuh kasih
sayang apa yang telah Allah anugerahkan kepada
dirinya. Itu berarti mengambil alih dan menanggung
kesusahan dan persoalan orang-orang yang datang
menemuinya.
Al-Syiblî mengatakan, ?hamba pilihan Tuhan terlepas
dari ciptaan dan terkait pada Sang Mahabenar
(al-Haqq).? Ia melanjutkan, ?munqathi? ?an al-khalq,?
bermakna, ?hatinya terputus dari orang banyak dan
terhubung dengan Ilahi.? Secara harfiah, ungkapan itu
berarti bahwa ia melepaskan diri dari makhluk dan
secara spiritual menghubungkan diri dengan cinta-Nya.
Akan tetapi, dalam maknanya yang lebih dalam, ungkapan
itu juga berarti bahwa ia menolak segala bentuk
kepalsuan dan mencintai segala bentuk kebenaran.
Seorang hamba Tuhan tidak akan melibatkan diri ke
dalam persoalan yang tidak penting baginya, atau ke
dalam perbuatan dan pembicaraan orang-orang yang
bertentangan dengan Kebenaran. Ia terhubung dengan
Kebenaran. Ia menyukai segala sesuatu tentang
Kebenaran dan membenci segala bentuk kepalsuan. Ketika
ia melepaskan diri dari kepalsuan, ia membungkusnya,
seolah-olah ia tidak melihatnya, meskipun sebenarnya
ia benar-benar menyadarinya. Pada saat yang sama, ia
juga tidak mengecam atau membeberkan kepalsuan dan
perbuatan buruk yang dilakukan oleh orang-orang.
Ia menggabungkan diri dengan Kebenaran dan melepaskan
diri dari kepalsuan. Ia melakukan hal ini untuk
mengimbangi kepalsuan orang-orang dengan meletakkan
Kebenaran pada sisi timbangan lainnya. Jika kepalsuan
tidak terkendali, itu akan menyebabkan kehancuran baik
bagi umat maupun bagi dunia secara keseluruhan. Jadi,
para wali itu ibarat gunung dalam kehidupan umat;
mereka mengimbangi segala sesuatu sebagaimana gunung
membuat bumi tetap seimbang." Dan gunung-gunung
sebagai pasak. (Q 78:7)
Jika kepalsuan semakin tak teratasi, tidak akan ada
lagi keseimbangan di bumi, dan bumi akan terbalik.
Maka para wali membuat seimbang segala sesuatu. Itulah
makna dari firman Allah: Supaya kamu jangan melampaui
batas neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan
adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (Q
55:8?9). Kedua ayat itu mengandung arti, ?Jadikanlah
segala sesuatu seimbang dalam timbangan.? Jika para
wali tidak mengimbangi kepalsuan dengan beribadah,
jika mereka tidak menyeimbangkan kesalahan yang
dilakukan oleh para pelaku kejahatan dengan kebenaran,
maka dunia sudah musnah sejak lama.
Mengenai salah satu tanda datangnya kiamat, ?Abd Allâh
ibn ?Amr ibn al-?Âsh meriwayatkan bahwa Nabi saw.
pernah berkata: Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut
ilmu dari dada para ulama, tetapi Dia akan mencabut
ilmu dengan mencabut nyawa mereka hingga tiada lagi
orang yang menggantikan posisi mereka, dan orang-orang
pun menjadikan orang bodoh sebagai pimpinan mereka.
Mereka (para pemimpin bodoh) akan dimintai pendapat
lalu memberikan fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan
menyesatkan.
Hamba-hamba yang saleh telah menyeimbangkan segala
sesuatu sejak masa Nabi Muhammad saw. Memang,
sepanjang zaman, mereka selalu menyeimbangkan
kepalsuan dengan kebenaran. Tetapi, sekarang
keseimbangan yang mereka bawakan kepada dunia itu
sudah mencapai batas akhir, sehingga tidak lagi
tercipta keseimbangan. Memang, lemahnya naluri
keseimbangan telah menjadi ciri umum zaman kita
sekarang. Itulah sebabnya saat ini kita menyaksikan
banyak sekali pembunuhan. Dan ketika semua orang
berbicara tentang perdamaian, kenyataannya di
mana-mana orang meregang nyawa. Semoga Tuhan menjaga
kita dalam lindungan hamba-hamba-Nya yang saleh yang
telah Dia anugerahi pengetahuan, dan Dia amanatkan
bimbingan umat Muhammad, serta mengimbangi perbuatan
kita dengan kebaikan.
Nabi Muhammad saw. bersabda: Setelahku akan ada para
khalifah, dan setelah para khalifah akan ada para
pangeran, dan setelah para pangeran akan ada para
raja, dan setelah para raja akan ada para penguasa
tiran. Dan setelah para penguasa tiran akan ada
seseorang dari keluargaku (ahlulbait) yang akan
memenuhi dunia dengan keadilan, dan setelahnya akan
ada al-Qahtânî. Demi Yang memberiku Kebenaran, tiada
kabar yang terlewat.
Para khalifah yang disebut dalam hadis ini adalah
empat khalifah teladan, yaitu Abû Bakr, Umar, ?Utsmân,
dan ?Alî?semoga Allah meridai mereka. Sedangkan para
pangeran dalam hadis itu adalah para khalifah Bani
Umayyah di Damaskus dan para khalifah Bani Abbasiyah
di Bagdad. Sementara para raja adalah para sultan
Utsmani di Istanbul. Setelah para raja, menurut hadis
itu, akan ada para penguasa tiran, yaitu yang biasa
kita saksikan sekarang.
Para wali tidak melihat masa depan yang disebutkan
dalam hadis semacam itu sebagai masa depan yang sangat
jauh. Mereka berbicara kepada siapa yang mau belajar
dari mereka, bahwa hadis-hadis tersebut adalah
rambu-rambu bagi manusia di sepanjang jalan menuju
akhirat. Kalau kita berperilaku seperti orang buta,
mengabaikan tanda-tanda zaman, lantas apa gunanya
petunjuk yang sangat terang itu? Tugas para wali,
sebagai pewaris para nabi, adalah mengingatkan
manusia, memberi kabar gembira (basyîr) dan peringatan
(nadzîr).
Mari kita perhatikan petunjuk terang yang dibawa Nabi
saw. kepada kita semua, dan siap-siap menghadapi zaman
penuh godaan. Dengan mengikuti rambu-rambu tersebut,
kita berharap bisa mewujudkan era keemasan peradaban
nabawi, era yang belum pernah dunia saksikan.
Syekh Muhammad Nâzim ?Adil al-Qubrusî al-Haqqânî
al-Naqsyabandî,12 Rabiul Awal 1424, 11 Mei 2003
Lefke, Cyprus
0 Comments:
Post a Comment
<< Home