BloG ini berisi kumpulan tulisan menarik dari berbagai milis dan juga tulisan2 saya di beberapa milis. Topik yg menarik minat saya tentang manusia, kebudayaan, teknologi, management, marketing dan keagamaan...krn banyak posting menarik dari milis yg sayang kalau tidak di dokumentasi. Semoga ada gunanya... :P Silahkan dikomentari dan dikritisi jika ada hal-hal yg tidak sesuai dengan opini anda. Just feel free to write....OK...? :)

Thursday, August 12, 2004

H Abdul Karim Amrullah : Penyeru 'Revolusi Jiwa'

(kiriman imel Heru W di milis yisc al-azhar)

Penulis : yus (dari dialog jumat Republika)

Nama ulama terkemuka Buya Hamka tentu tidak asing lagi. Sumbangihnya
sangatlah besar di bidang pendidikan keagamaan dan dakwah Islamiyah. Akan
tetapi, bila menyebut nama Abdul Karim Amrullah, sangat sedikit yang
mengenalnya. Padahal dia tidak lain adalah ayahanda dari Buya Hamka.

Seperti halnya sang putra, H Abdul Karim Amrullah juga merupakan ulama besar
pada awal abad 20. Berasal dari Minangkabau, selama hidupnya beliau telah
mencurahkan segala perhatiannya guna mengembangkan dakwah agama di tanah
kelahirannya.

Masa kecilnya dihabiskan di kampung halamannya yang terletak di desa Kepala
Kabun, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam. Ayahnya bernama Syekh Muhammad
Amrullah adapun ibunya bernama Tarwasa. Abdul Karim yang di masa kecilnya
diberi nama Muhammad Rasul, mendapatkan pelajaran agamanya yang pertama di
desa Sibalantai, Tarusan, Painan.

Selama lebih kurang satu tahun, dia belajar Alquran di sana. Pada usia 13
tahun, kembali ke kampung halamannya untuk belajar nahwu dan saraf bersama
ayahnya sendiri. Adapun pelajaran selanjutnya dia peroleh di Sungairotan,
Pariaman, pada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf selama dua tahun.

Tahun 1894 tepatnya ketika berusia 15 tahun, ia dikirim ayahnya untuk
belajar ilmu agama Islam ke sumbernya langsung di Makkah. Dan di tanah suci,
pelajaran agama itu didapatnya dari seorang ulama asal Minangkabau pula
bernama Syekh Ahmad Khatib Minangkabau yang waktu itu menjadi guru dan imam
Masjidil Haram. Tujuh tahun lamanya ia menimba ilmu.

Bersamaan waktunya terdapat pula beberapa putra-putra Minangkabau yang
menuntut ilmu di Makkah dan menjadi teman seperguruan. Tercatat diantaranya
Muhammad Jamil Jambek serta Taher Jalalludin. Di samping itu, Abdul Karim
Amrullah juga pernah berguru pada sejumlah ulama terkenal antara lain Syekh
Abdullah Jamidin, Syekh Usman Serawak, Syekh Umar Bajened, Syekh Saleh
Bafadal, dan banyak lagi.

Usai menyelesaikan masa belajarnya, pada tahun 1901 ia ke tanah air.
Pengaruh gurunya, Syekh Ahmad Khatib, membuatnya menjadi seorang yang
revolusioner terhadap adat Minangkabau dan kepada tarekat-tarekat di
Sumatera Barat, khususnya tarekat Naksyabandiyah.

Disebutkan dalam buku Ensiklopedi Islam, bahwa Syekh Ahmad Khatib selama di
Makkah, sesuai dengan beberapa pertanyaan yang diajukan kepadanya, sudah
menulis sejumlah buku yang mengungkapkan kekeliruan tarekat tersebut. Selama
di Makkah, Muhammad Rasul telah menerima pendirian dan sikap gurunya itu
dengan baik.

Di tahun-tahun awal kedatangannya, Muhammad Rasul kemudian mencoba
meluruskan praktek tarekat yang menurutnya tidak ada dasarnya dalam Islam.
Upayanya ini tidaklah mudah. Selain karena ulama yang sepaham dengannya
tidaklah banyak, juga dia harus menghadapi ulama-ulama yang tak lain adalah
pengikut ayahnya sendiri, seorang syekh dari tarekat Naksyabandiyah.

Pertentangan paham antara ayah dan anak pun tak terelakan. Kendati demikian,
Muhammad Rasul yang saat itu sudah mendapat gelar Tuanku Syekh Nan Mudo,
tetap berusaha menjaga hubungan baik dan berbakti kepada sang ayah.
Sebaliknya, timbul rasa bangga pada ayahnya ketika mengetahui keteguhan
pendirian anaknya hingga menjadi seorang yang pemberani.

Beberapa tahun kemudian, Muhammad Rasul kembali ke Makkah untuk menimba ilmu
lebih dalam lagi. Akan tetapi, niatnya ini kurang disepakati oleh gurunya,
Syekh Ahmad Khatib, lantaran menilai dia justru sudah layak menjadi guru.
Anjuran tersebut dipatuhinya hingga akhirnya membuka ruang pendidikan di
rumahnya di Syamiah, Makkah. Di antara muridnya adalah Ibrahim bin Musa
Parabek dan Muhammad Zain Simabur.

Muridnya makin lama makin bertambah banyak. Untuk itu, dia disarankan untuk
mengajar di Masjidilharam mengambil tempat di Bab al-Ibrahim. Namun,
kegiatan mengajarnya di Masjidilharam ini tidak disukai oleh syeh-syekh Arab
waktu itu. Jadilah kemudian dia mengajar di rumah keponakan Syekh Ahmad
Khatib.

Tak lama dia tertimpa musibah. Istrinya meninggal dunia setelah melahirkan
anak keduanya, yang juga meninggal. Sampai selanjutnya usai berhaji tahun
1906, ia pulang ke kampung halaman dan menikahi adik istrinya. Dari istri
keduanya itu, Muhammad Rasul memperoleh seorang putra yang diberi nama Abdul
Malik. Dikemudian hari, anaknya itu akan dikenal orang sebagai ulama besar
yakni Prof Dr Hamka.

Perjuangannya untuk meluruskan ajaran tarekat Naksyabandiyah semakin gencar.
Dia kian bersemangat menjalankan ide-ide gurunya. Pertentangan dengan para
penganut tarekat Naksyabandiyah mencapai puncaknya yang ditandai oleh
istilah pertentangan antara 'kaum tua' dan 'kaum muda' (umumnya adalah
murid-murid Syekh Ahmad Khatib). Saat itu, Muhammad Rasul telah berganti
nama menjadi H Abdul Karim Amrullah.

Sekitar tahun 1925, Abdul Karim mengadakan perjalanan ke Jawa dan sempat
bertemu dengan HOS Tjokroaminoto dan KH Ahmad Dahlan. Mereka lantas saling
bertukar pikiran satu sama lain. Dari situ, dia menangkap kesan yang
dibawanya ke Sumatera Barat bahwa Islam perlu diperjuangkan dengan sebuah
organisasi yang baik. Hingga pada akhirnya dia mengubah perkumpulannya
'Sendi Aman' menjadi cabang Muhammadiyah di Sungaibatang, kampung halamannya
sendiri.

Kiprahnya untuk mengembangkan agama Islam di Sumatera Barat sangatlah
bernilai. H Abdul Karim banyak mengajar di berbagai tempat, menyiarkan
Muhammadiyah di Minangkabau. Selain itu, dia juga peka terhadap penderitaan
rakyat kecil dan kerap meluangkan waktu untuk menulis buku.

Sesuai prinsip yang diajarkan oleh gurunya, dirinya meyakini bahwa
perjuangan di jalan Allah tidak akan pernah berakhir selama hayat masih di
kandung badan. Syiar Islam harus dikumandangkan di kalangan manapun dan di
berbagi tempat. Berkat semangatnya itu, H Abdul Karim disegani oleh
rekan-rekannya sesama ulama.

Meski begitu, perjuangannya tadi tidak berkenan di hari para petinggi
kolonial Belanda. Dia beberapa kali diasingkan. Pada 12 Januari 1941
misalnya, pernah mendekam di penjara Bukitinggi. Agustus 1941, diasingkan ke
Sukabumi. Pemerintah Belanda khawatir dengan pengaruh yang dimiliki H Abdul
Karim lantaran dalam berbagai kesempatan, dia selalu melontarkan kecaman
terhadap hukum dan peraturan Belanda.

Pun pada saat tentara Jepang menduduki Indonesia, dia dengan tegas menolak
keharusan membungkukkan badan ke arah timur laut untuk menghormati Tenno
Haika. Menurutnya, bagi pemeluk Islam, tidak ada yang bisa disembah selain
Allah SWT.

Tokoh ulama kharismatik ini di akhir hayatnya memilih tinggal di Jawa. Ia
seringkali mengadakan pengajian-pengajian di Jakarta dan Sukabumi.
Pengunjungnya selalu ramai. Pada tanggal 2 Juni 1945, Allah memanggilnya dan
dimakamkan di Pemakaman Umum Karet Jakarta.




0 Comments:

Post a Comment

<< Home