Pembaharuan Islam di Indonesia : Meneropong Sosok Ahmad Wahib
Andriansyah
(dari : © Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003)
Sejarah peradaban atau apapun memang tidak selalu berjalan linear. Bak roda pedati yang sulit sekali pada tiap-tiap bagiannya mengalami keajegan final, kadang naik, kadang turun, kadang berhenti sejenak, dan seterusnya. Sesuatu yang sangat wajar, dan barangkali sudah terlalu biasa didengar. Demikianlah sebuah titah kehidupan yang mau tak mau diemban seorang anak manusia.
Begitupun persoalan pembaharuan dalam Islam, tak disangsikan lagi merupakan sesuatu yang tidak boleh tidak terjadi. Pembaharuan bagi Islam seolah sudah menjadi determinasi sejarah. Ia terus dan akan selalu terjadi, kalaupun tidak, nampaknya memang mesti diadakan. Apalagi bila kata pembaharuan Islam disandingkan dengan hal mana dinamakan kemodernan—yang notabene anak kandung peradaban Barat.
Namun, nampaknya pembaharuan dalam Dunia Islam bukan soal diadakan atau tidak. Kalau persoalannya sekadar menjadi diadakannya pembaharuan atau tidak, agaknya membincang pembaharuan boleh dianggap selesai, dan lagi menjadi tidak menarik. Persoalan menjadi lain, manakala diajukan sebuah pertanyaan: bagaimana cara melakukan pembaharuan Islam itu?
Pertanyaan di atas amat krusial, bahkan membuahkan perdebatan yang tidak pernah selesai hingga kini. Banyaknya suara dengan mana pembaharuan Islam dilakukan, makin memperlambat perkembangan religiusitas Umat Islam. Dimana Umat seharusnya sudah melangkah ke tahap lanjutan ketimbang dengan hanya bergulat pada soal religiusitas. Kontestasi antara sikap kembali kepada tradisi, sebagai wujud sikap atas nama kebaruan Islam dengan sikap menerima kemodernan sebagai ‘jalan lurus’ sikap hidup, atau mengakomodasi keduanya, menjadi tema yang berkepanjangan. Karenanya pembaharuan dalam Islam, hingga kini, boleh dibilang baru pada tahap wacana. Kalaupun memunculkan gerakan, hal itu belum secara masif dilakukan.
Dalam menyikapi kemodernan, situasi dan kondisi Dunia Islam memang sangat berbeda dengan Barat. Berangkat dari tradisi yang berpijak pada doktrin Jesus “berikan apa yang menjadi hak kaisar pada kaisar, dan yang menjadi hak agama pada agama”. Barat lulus ujian mengatasi polemik pembaharuan keagamaan, meskipun tentu saja tidak kering dari tetesan tinta maupun darah selama berabad-abad lamanya. Sekularisme menjadi ajimat bagi Barat. Persepsi terhadap Isa As. yang dilihat tak lebih hanya sebagai pengemban titah keagamaan dan tidak termasuk pada masalah keduniaan, melepaskan Tuhan dari gerak sejarah. Keuntungannya, Barat tidak terus-menerus berpusar pada persoalan relijiusitas, hal ini sudah dianggap selesai. Preseden ini tidak terdapat dalam Dunia Islam. Muhammad Saw. tidak pernah secara tandas menegaskan, apakah ia pengemban titah keagamaan saja, dan ataukah juga terutus untuk menyelesaikan masalah-masalah keduniaan, dalam artian seluas-luasnya. Yang terlihat justru malah kedua-duanya. Pencitraan Muhammad Saw. seperti ini hampir dianut oleh sebagian besar Umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia.
Karena itulah gejala umum yang terjadi dalam Umat Islam, ketika mereka menghadapi situasi modern, masalahnya nyaris sama. Berputar dalam masalah langkah-langkah yang mesti dilakukan dalam melakukan pembaharuan. Sayangnya, sedikit sekali orang yang mau berkubang dalam upaya mencari yang sejati dari apa yang dinamakan pembaharuan Islam.
Pembaharuan Islam di Indonesia dari dahulu hingga kini memang sangat elitis sifatnya. Menempuh cara Barat dalam merengkuh kemodernan barangkali hal paling gampang digulirkan, namun apakah ia akan efektif di tengah basis material Umat yang sedemikian berbedanya dengan Barat. Jangan-jangan upaya untuk itu, hanya akan menjadi cemooh dan tuduhan upaya mendeskreditkan Islam. Karenanya dalam melakukan pembaharuan Islam, seseorang harus rela menyerahkan diri sepenuhnya dalam cita-cita itu, dengan segala resiko apapun yang bakal diterima. Juga harus bersedia memeras tenaga dan pikiran bagi pemecahan soal-soal bagaimana al-Qur’an hendak ditafsirkan, sejauh mana relevansi Hadits menjadi pedoman, dan dalam batas-batas mana nilai-nilai islam maupun sistemnya terwujud di tengah-tengah Umat. Dalam konteks Indonesia, hal ini masih ditambah satu lagi, yaitu perlunya mempertimbangkan kondisi masyarakat yang sedemikian plural, baik agama, etnis, maupun kepercayaan. Inilah realitas masyarakat yang ada. Pada akhirnya, seorang pembaharu Islam di Indonesia, mau tak mau harus memecahkan secara strategis pada persoalan-persoalan sikap Umat Islam terhadap syari’ah. Satu hal inilah yang menjadi pangkal perdebatan hingga kini. Konon hal ini disebabkan Islam di Indonesia sangat kuat menganut paham Sunni. Dimana kemudian, merujuk namanya, cita-cita Islam yang ideal haruslah Islam yang meniti pada tradisi sunnah Nabi, yang pelaksanaanya diupayakan dalam arti kolektivitas (jama’ah). Jadi, lokus perdebatan keharusan melakukan pembaharuan Islam, tidak boleh mengorbankan persatuan dan kesatuan Umat dalam kolektivitas. Kalau yang terjadi kemudian adalah berpotensi memecah Umat, sebaiknya ia tidak diupayakan. Maka, seorang pembaharu, mengalami dua dilema sekaligus: dilema memperturutkan dan memenuhi niat suci perubahan bagi Umat; dan dilema mencari anggitan yang paling dasar bagi upaya pembaharuan, yaitu dukungan Umat.
Ahmad Wahib
Dari sebagian orang yang mau berkubang dalam lumpur dilema diatas, tersebutlah nama Ahmad Wahib. Konon dari segi penampakan, pria yang dilahirkan pada tanggal 9 Nopember 1942 di kota Sampang, Madura ini, berperawakan kecil. Praktisnya sangat tidak meyakinkan orang, bahwa dalam dirinya terdapat gunung api yang sewaktu-waktu meledak terhadap pembaharuan Islam di Indonesia. Dalam catatan hariannya yang dibukukan, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, bagaimana diungkapkan jalan hidup yang ditempuhnya dalam strategi pembaharuan Islam di Indonesia menghadapi pemetaan Umat diatas. Pada tanggal 10 April 1972, ia menulis sebagai berikut:
Kita kaum pembaharu muslim masih terlalu banyak menoleh kebelakang. Kita masih telalu sibuk melayani serangan-serangan dari orang-orang muslim tradisional. Kalau ini sampai berjalan lama dan menjadi kebiasaan saya kuatir kaum pembaharu akan terlibat dalam apologi bentuk baru, yaitu apologi terhadap ide-ide pembaharuan (yang sudah ada) melawan kaum tradisional. Bila ini sudah terjadi maka terhentilah sebenarnya kerja pembaharuan kita.
Umur pembaharuan dikalangan muslim masih terlalu muda. Karena itu saya sangat kuatir bila dia menyibukan diri untuk: 1. menangkis dan menyerang muslim-muslim tradisional dengan faham-fahamnya yang sudah lama tersusun; 2. untuk menyebarkan pikiran-pikirannya yang notabene belum matang, belum lengkap dan jauh dari utuh. Karena itu sebaiknya kaum pembaharu memusatkan diri pada ketekunan pemikiran dan perenungan alam suatu grup kecil untuk mengolah dan mengembangkan konsep-konsep yang ada agar relatif matang, lengkap dan utuh. Kalau ini tidak dilakukan saya kuatir kita akan menjadi budak yang mau maju terus dan malu untuk sewaktu-waktu mundur bila kadang-kadang salah.
Ahmad Wahib memang seakan sudah berjodoh akan menjadi orang ‘besar’ bagi orang-orang yang concern terhadap pembaharuan Islam Indonesia—paling minimal bagi pengagum pikiran-pikiran pembaharuannya. Ada baiknya terlebih dahulu kita lihat siapa sebenarnya ia.
Ahmad Wahib terlahir sebagai seorang Muslim yang juga Jawa. Laiknya anak-anak Muslim pada umumnya di Indonesia, ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sangat kental dimensi keagamaannya. Apalagi ayahnya, Pak Sulaiman, merupakan seorang pemimpin sebuah pesantren yang sangat kuat pengaruh dan dikenal luas di kampungnya. Satu hal yang membedakan Wahib dengan anak-anak Indonesia lainnya, selain memiliki nasib baik, ia dididik dalam keluarga agamis, dididik dalam sikap keberagamaan ayahnya yang tebuka dan bebas. Ayahnya memang pengagum setia pemikiran-pemikiran pembaharu Islam asal Mesir, Muhammad Abduh. Sikap terbuka inilah yang memungkinkan Wahib menempuh pendidikan umum, berbeda dengan teman sebayanya yang tidak ada pilihan lain memasuki Madrasah (sekolah agama). Pendidikan umum ini, dijenjanginya sampai tingkat menengah atas. Selepas belajar di SMA Pamekasan, Ahmad Wahib melanjutkan studinya ke Yogyakarta. Di Yogyakarta, ia melanjutkan studi pada Fakultas Ilmu Pasti dan Alam Universitas Gajah Mada (FIPA- UGM), sealur dengan pendidikannya ditingkat atas sebelumnya. Tidak banyak diketahui atas dasar apa kemudian, Wahib lebih memilih tinggal di asrama mahasiswa calon-calon pastur, Asrama Mahasiswa Realino. Dan pada saat yang sama ia putuskan memasuki organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), satu hal yang dalam beberapa segi merupakan bentuk komitmennya yang begitu tinggi terhadap Islam.
Seperti dikatakan A.H. Johns1, tindakannya memasuki HMI saat itu, merupakan sebuah tindakan berani. Sebab, pada dekade 60-an itu, terjadi polarisasi amat intensif dalam pergumulan politik, antara pihak kubu Soekarno bersama kelompok-kelompok nasionalis radikal dan Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan angkatan bersenjata, dan sayap politik Partai Masyumi yang terlarang, bersama partai-partai kecil lainnya, dipihak lain. Dan pilihan berjuang dalam lembaga Islam merupakan pilihan sulit. Terlebih lagi saat itu Masyumi, yang dianggap ikon pembaharu sekaligus ikon kekuatan Islam menyandang stigma buruk dimata penguasa, sebagai akibat lanjutan carut-marutnya politik sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Masyumi yang kala itu memperjuangkan syari’at Islam (sebagaimana disinggung diatas, pada lahan inilah pembaharuan banyak dilakukan), akhirnya dilikuidasi. Namun dihati Umat, Masyumi masih menjadi harapan tampilnya nuansa Islam dalam penggung nasional. Lewat underbouw-nya lah, seperti HMI, banyak diteruskan cita-cita perjuangan Masyumi. Dari sini Wahib, pada tahap selanjutnya, banyak disibukan untuk memikirkan dan mereka-reka dimanakah posisi ideologis Islam ditengah-tengah beraneka warna ideologis era 60-an. Iklim kondusif Yogyakarta turut pula membentuk dirinya dalam pikiran, sikap maupun perbuatan. Selain aktivismenya yang berkobar-kobar di HMI, ia mencari bahan bakarnya dalam diskusi-diskusi kelompok studi terbatas Limited group. Disinilah bermulai pikiran-pikirannya yang liar namun menggugah. Dalam forum ini pula gambaran bagaimana concern-nya terhadap Islam makin menjadi-jadi. Nilai lebihnya, dalam forum ini pula dimungkinkan pengungkapan segala unek-unek yang dirasakan setiap anggotanya, mulai dari masalah-masalah teologis samapi hal-hal yang bersangkutan dengannya, hal mana tidak lazim bagi kebanyakan Umat Islam saat itu untuk dipertanyakan. Namun, lama kelamaan, Yogyakarta tidak dirasakannya menantang dan memberi inspirasi lagi. Dalam catatan hariannya pada tanggal 5 Juli 1969, ia menulis:
Aku sudah terlalu lama di Yogya. Dia sudah terlalu kering buat suatu inspirasi. Bagiku kota ini tidak inspiratif lagi. Kapankah keinginanku intik menjelajah dunia ini bisa terlaksana?
Aku benci homogemitas dan suasana monoton. Aku ingin mencari lingkungan baru yang masih kaya akan inspirasi.
Tahun 1971, akhirnya ia mencoba mencari lautan inspirasi di kota bernama Jakarta, dan mulai memikirkan bagaimana merancang masa depannya. Sambil mencari pekerjaan, ia seringkali mengikuti kuliah-kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STFD) dan mengikuti diskusi-diskusi di rumah Dawam Rahardjo, kawan lamanya di HMI cabang Yogyakarta dulu.
Masa-masa di Jakarta boleh dibilang masa-masa sulit baginya. Sampai suatu ketika, seorang pengendara motor berkecepatan tinggi menabraknya di persimpangan jalan Senen Raya-Kalilio. Hari itu, tanggal 31 Maret malam tahun 1973, Wahib, seorang calon reporter Majalah Tempo, menghembuskan napasnya yang terakhir.
Manusia Merdeka di Jaman Baru
Kalau saja Wahib tidak menulis catatan harian, dan atau kalaulah Djohan Effendi, teman dekatnya, tidak dapat menemukan catatan-catatan itu, barangkali Wahib tidak akan dikenal sebagai seorang yang amat concern terhadap pembaharuan Islam. Apalagi dengan terbitnya buku catatan harian Wahib, sedikit banyak memiliki gaung gelombang yang resonansinya mengena banyak kalangan anak-anak muda sesudahnya.
Seperti dikatakan Walt Whitman, manusia besar selalu lahir dari alam, barangkali lebih tepat lagi pengalaman. Kehidupan Wahib yang seorang muslim, seorang yang berbudaya Jawa, ditambah pergaulannya dengan orang-orang Katolik langsung dari kantong-kantongnya, pergulatan dalam HMI, menjadikannya manusia yang berdaya serap tinggi yang tidak pernah kehilangan dahaga. Pada 6 Oktober 1969, ia menulis:
…Memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru. Permainan yang tak akan pernah selesai ini sangat mengasyikan.
Dengan belajar dari kehidupan yang ia lambarinya secara langsung, menjadikannya manusia yang siap menampung segala hal, yang dalam bayangan orang lain barangkali tidak mungkin. Bahkan ia sampai pada tekad enggan untuk dikotak-kotakan kedalam golongan tertentu masyarakat. Ia menginginkan orang lain menerimanya dalam arti manusia sesungguhnya. Manusia yang tidak berbeda hanya karena ideologi dan keyakinan yang dinautnya. Pada 9 Oktober 1969, ia menulis:
Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat.
Memahami manusia sebagai manusia.
Agaknya Wahib sudah sangat bosan mendapati sikap-sikap orang sekelilingnya yang cenderung menilai orang lain bukan karena pribadinya tapi lebih karena kepada apa orang itu berafiliasi. Secara kontekstual, pendirian Wahib ini mendapat relevansinya dengan keadaan politik 60-an yang sangat carut-marut. Berbagai faksi politik saling curiga mencurigai satu dengan lainnya, bahkan sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan.
Masa-masa ini merupakan masa paling bergejolak dalam sejarah Indonesia. Luka psikologis yang dialami Wahib, yang disebabkan oleh kenyataan yang nampak dihadapannya mulai dari krisis ekonomi yang sedemikian parah, intrik politik yang melahirkan kup oleh PKI pada 1965, pembantaian atas orang yang dituduh sebagai PKI setelah gagalnya kup tersebut, mengajarkannya banyak hal, yang mendorong segenap energinya untuk berbuat sesuatu untuk bangsanya. Dan yang paling dekat ialah pembaharuan pemahaman terhadap Islam.
Pemuda yang hidup masa sebaya Wahib, seperti diutarakan oleh penggerak pembaharuan lain, Soe Hok Gie, merupakan manusia-manusia baru. Bahkan, barangkali generasi baru, atau lapisan baru seperti termuat dalam pengantar redaksi Kompas pada Agustus 1969, yang dikutip oleh Daniel Dhakidae:
Tanpa kita sadari di bumi Indonesia kini telah tumbuh suatu lapisan baru, pemuda-pemuda, pemudi-pemudi Indonesia yang dilahirkan setelah tahun 1945__generasi kemerdekaan Indonesia2.
Generasi-generasi baru ini, seperti diungkap Daniel Dhakidae, adalah:
Mereka bukan orang yang takjub melihat kaki langit baru, yang terkagum-kagum kepada Barat model Sutan Takdir Ali Sjahbana; mereka bukan “pemuda bambu runcing”; mereka adalah generasi yang dididik dalam optimisme setelah penyerahan kedaulatan, dalam mitos-mitos tentang kemerdekaan dan harapan besar terhadap “kejayaan Indonesia di masa depan”; mereka dalah generasi yang dibius oleh semangat “progresif revolusioner” model Soekarno; tetapi terutama generasi inilah yang mengalami kehancuran cita-cita itu semuanya, demoralisasi dalam segala bidang, kehancuran kepercayaan kepada generasi-generasi yang terdahulu3.
Kenyataan pahit yang terjadi terhadap bangsanya sendiri barangkali hal biasa. Masa kemerdekaan, kenyataan tersebut boleh dibilang santapan dari hari ke hari. Namun tragisnya, kesengsaraan dan kepedihan itu bukan disebabkan oleh bangsa lain, tapi oleh anak-anak bangsa yang dulu berjuang untuk rakyat. Tunas idealisme yang dulu ditanamkan kepada kalangan muda ditanggalkan pada saat belum lagi kokoh menghujam ke langit. Wahib merupakan salah seorang dari berjuta pemuda Indonesia yang mengalami ‘pengkhinatan’ dari elite bangsanya sendiri. Pernah suatu ketika, dalam catatan hariannya pasa 6 Juni 1969, ia berujar:
Aku tidak mengerti keadaan di Indonesia ini. Ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampir tetap saja. Bagaimana ini?
Pada 20 Pebruari 1970, Wahib menulis:
Pada saat ini terlihat bahwa seluruh sikap-sikap mental mengalami degradasi di Indonesia, termasuk sikap mental bertanggung jawab.
Beberapa orang yang pada mulanya kelihatan sangat potent untuk berwatak penuh tanggung jawab, ternyata menjadi pelempar tanggung jawab. Ada suatu bahaya bahwa masyarakat Indonesia akan menjadi society of responsibility shifters. Karena itu dari kalangan anak-anak muda di samping orang-orang tua, haros tampil beberapa orang yang berani melawan arus ini dan menegakan suatu masyarakat yang bertanggung jawab.
Sikap berdiam diri jelas bukan prototype Wahib. Sebagaimana maklum, ia akhirnya memasuki HMI sebagai wahana perjuangannya. Namun begitu, ia masih sangat menaruh harapan besar terhadap insan-insan kreatif yang tidak kenal lelah untuk membangun cita-cita. Romantisme terhadap apapun hanya akan menjadi apologia. Dan sikap apologia inilah sebenarnya yang menjadikan bangsa Indonesia, dimana Umat Islam bagian terbesarnya, terlalu depensif dalam hidup. Umat Islam hanya bisa sebatas reaksi ketimbang melakukan aksi. Karena itu menjadi manusia yang merdeka, otonom, harus menjadi cita-cita dan segera diwujudkan dalam alam pembaharuan. Untuk itu Wahib, menulis pada 16 Agustus 1970, sebagai berikut:
Cara bersikap kita terhadap ajaran Islam, Qur’an dan lain-lain sebagaimana terhadap Pancasila harus berubah, yaitu dari sikap sebagai insan otoriter menjadi sikap insan merdeka, yaitu insan yang produktif, analitis dan kreatif.
Cinta Platonik
Seringkali dalam kehidupan, kita dihadapkan pada banyak hal yang tak terduga, dari semula yang begitu matang direncanakan. Sosok Wahib yang sangat sederhana, barangkali bersahaja, sama halnya dengan cara pandang hidupnya. Wahib bukanlah seseorang yang selalu mesti menetapkan dirinya berpikiran hal-hal yang besar. Ia sepenuhnya sadar akan begitu lemah kemampuan komunikasinya dengan orang lain. Ini menjadi ciri tersendiri buatnya. Wahib sampai suatu ketika juga sepenuhnya insaf bahwa selama ini hanya banyak berolah rasa dengan dirinya sendiri, hal mana menjadi titik kelemahan yang diakuinya sedikit banyak menghambat kemajuan dalam pendekatan ide-idenya.
Kelemahannya ini membuat Wahib tidak pernah menemukan cinta sesungguhnya pada seorang wanita khusus, seolah ada saja ketakutan yang serba nir alasan. Pada tahap tertentu, ketakutan itu terjadi lebih karena umurnya yang sudah cukup dewasa, namun belum ada kejelasan untuk memiliki teman hidup. Sehingga, ketakutan-krtakutannya itu kerap mewujud dalam mimpi-mimpinya. Tulis Wahib pada tanggal 26 Maret 1969:
Aku terbangun oleh mimpi yang mengerikan setelah 4 jam tidur malam ini. Masih jam 2.15. Aku kesal menunggu pagi. Aku teringat pada...yang mengembalikan aku pada kenangan masa kanak-kanak di mana aku baru mengenal cinta dari buku-buku komik dan roman murahan. Oh, aku teringat pada rambutnya yang mayang mengurai, warna keputih-putihan pada pipinya dan tubuhnya yang tidak begitu langsing. Aku teringat bagaimana dia bermain-main dihalaman rumahku. Aku tak tahu lagi di mana dia sekarang. Ah, romantisitas sekali menoleh masa lalu. Adakah ini tanda-tanda bahwa aku telah apologetik dalam erotik? Apologetik yang kubenci? Tidak, aku tak mau apologi. Aku akan berjuan keras menghadapi masa kini dan nantiku.
Cinta yang sebatas pergulatan dalam “ideation” itulah yang nampaknya mengungkungi Wahib, tidak hanya pada ketika ia mencintai lawan jenisnya saja. Pada banyak hal pun ia mengalami itu. Bagaimana misalnya kecintaannya pada HMI. Keinginannya untuk melakukan pembaharuan di tubuh HMI, akhirnya hanya menjadi angan-angan yang tak pernah kesampaian. Eksodusnya Wahib dari HMI, pasti bukan karena ia sudah tidak kerasan di dalamnya. Lebih dari apapun kecintaanya pada HMI tidak pernah luntur. Sayangnya, seperti kepahitan hidup yang kerap dirasakannya, ia harus menghadapi situasi yang serba dilematis antara mempertahankan idealisme, keterbukaan, kebebasan, dengan berdiam diri ditengah-tengah ketidak wajaran yang terjadi di lingkungannya sendiri.
Wahib memendam penyesalan yang dalam, sebab ikrar cinta sucinya bersama HMI dihalangi dan tidak diberi ruang pemuasannya. Dalam pada itu, dia menulis dalam bentuk aforisme pada 14 Agustus 1969:
HMI bukan sekedar alat
yang bisa diganti dengan lain alat
HMI bukan sekadar saluran
yang bisa ditukar bergantian
terasa...HMI telah menjadi nyawa kita
HMI telah ada dalam urat dan nadi kita
dia ada dalam keriangan kita
dia ada dalam kesusahan kita
dia ada dalam kecabulan kita
dia ada dalam ke kanak-kanakan kita
HMI telah menghisap dan mengisi jaluran-jaluran darah kita
walaupun begitu perpidahan ini kita lakukan juga
kita tidak boleh tercekam oleh emosi
yang akan membuat kita terus termangu,
keragu-raguan dalam perpisahan
relakanlah segalanya
buat yang masih tinggal
Dalam keadaan seperti ini Wahib sepertinya merasakan kesepian amat dalam, bahkan kadang merasa pula keadaan frustasi akan kepahitan hidup. Namun bukan sikapnya pula ia pantang menyerah. Satu hal yang amat disesalinya ialah bila orang lain menanggung hasil-hasil perbuatannya yang berdampak negatif, tidak lebih dari itu ia selalu menghadapi kepahitan dengan selalu tersenyum. Yang paling dikhawatirkan Wahib mengenai kepahitan hidup yang silih berganti mendera, adalah kehilangan pembacaan onjektif terhadap gejala sosial yang masih tetap dipegangnya. Oleh sebab itu, ia mencari pemecahan lain yang bertujuan menjaga tingkat objektivitas pandangannya sekaligus mempertajam analisa pemahamnnya. Ia tuliskan hal ini pada 20 April 1970, demikian:
Dengan membaca aku melepaskan diri dari kenyataan yaitu kepahitan hidup. Tanpa membaca aku tenggelam sedih. Tapi sebentar lagi akan datang saatnya dimana aku tidak bisa lagi lari dari kenyataan. Kenyataan yang pahit tidak bisa dihindari teris-menerus berhubung dualitas diri yaitu jasmani dan roahani. Sebentar lagi kenyataan akan menangkapku dan aku belum tahu bagaimana saat itu harus kuhadapi.
Saat itu adalah saat yang paling pahit.
Penutup
Agak sulit mengukur sejau mana posisi Wahib dalam pembaharuan Islam. Namun, paling tidak kita dapat melihatnya dari respon Umat Islam terhadapnya tidak lama setelah catatan hariannya dibukukan. Penerbitan buku ini bukan hanya mengundang polemik, tapi juga ‘shock’ ditengah-tengah Umat Islam. Persis seperti yang pernah disinyalir olehnya, bahwa terkadang kita harus melakukan kejutan-kejutan terhadap kejumudan cara pandang Umat. Sampai akhir hayatnya pun ternyata Wahib masih setia dalam garis perjuangannya.
Dalam hal pemikiran keagamaan, khususnya keislaman, Wahib sampai saat ini memang masih menyisakan semangat ‘pemberontakan’ keagamaan, meskipun baru terjadi pada kantong-kantong komunitas masyarakat scope terbatas. Agaknya pembaharuan Islam Indonesia dalam taraf tertentu memang agak tehambat. Sebabnya boleh jadi karena pendekatan kaim pembaharu terkadang tidak simpatik, apalagi kebanyakan mereka tidak menghujam dalam pada segi pengaruh. Kekhawatiran ini sebenarnya yang didedahkan Wahib semasa hidupnya.
Pembaharu Islam sampai saat ini, nampaknya masih tetap berkutat dalam wacana ketimbang aksi. Sehingga banyak orang yang kontra-pembaharuan mengatakan bahwa model “rethinking” Islam—menempatkan Islam sebagai fakta sejarah—dalam pembaharuan Islam saat ini hanya mengganti kemasan tidak pada isi.
Agaknya yang belum dilakukan Wahib dalam pembaharuan Islam adalah berusaha melakukannya pada basis dan dari masyarakat itu sendiri. Tidak bijak juga mempermasalahkan persoalan Umat dengan tidak melibatkan Umat. Partisipasi masyarakat pada akhirnya mau tak mau harus dipertimbangkan dalam proses pembaharuan Islam. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Catatan:
--------------------------------------------------------------------------------
1 A.H. Johns, Sistem Atau Nilai-nilai Islam? Dari Balik Catatan Harian Ahmad Wahib, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, vol II, no.2,Th.1992
2 Daniel Dhakidae, Soe Hok Gie: Sang Demonstran, dalam pengantar Soe Hok Gie: Catatan Seorang Deminstran, (Jakarta: LP3ES,1993)
3 Ibid.
Andriansyah, tokoh muda Bekasi, alumnus PP Annida ul-Islamy, Bekasi. Kini tengah menyelesaikan studinya di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada jurusan Tafsir Hadits
© Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003
International Institute of Islamic Thought Indonesia
0 Comments:
Post a Comment
<< Home