Lihatlah ke Depan
Oleh: Rhenald Kasali
(dr detik.com)
Apa yang bisa Anda lakukan dalam iklan 30 detik? Benar. Anda cuma bisa bilang “Pilih saya, nomor sekian.” Pembatasan waktu ini dalam iklan-iklan politik perlu ditinjau kembali di masa depan, karena dalam tempo sependek itu tak ada pendidikan politik sama sekali. Tapi, sekalipun waktu yang diberikan lebih panjang, yang perlu diperhatikan pula adalah ketidakmampuan para calon pemimpin membawa kita ke masa depan. Sebagai intelektual tentu saja saya gemas. Semua bilang perlu perubahan, tetapi hampir semuanya menggunakan masa lalu sebagai acuan. Hampir semuanya berorientasi masa lalu.
Yang paling mau gampang adalah mereka yang memakai simbol pemimpin masa lalu. Saya sebut paling gampang karena memori pasar memang sudah ada di sana. Mudah, karena yang dibutuhkan cuma recall saja. Yang penting menang, lalu bawa bangsa ini ke masa lalu. Orang ini secara implisit mengatakan “kembalilah ke masa lalu.” Tentu saja cara partai-partai ini membawa kita ke masa lalu segera mendapat reaksi dari mereka yang seakan-akan tertindas di masa lalu. Tapi lagi-lagi mereka membawa kita ke masa lalu juga. Dendam dan amarah adalah bagian dari masa lalu. Dan mereka yang menoleh ke belakang tak bisa melihat ke depan.
Dalam sejarah organisasi-organisasi besar, termasuk bisnis dan pemerintahan, saya melihat setidaknya dibutuhkan lima hal yang mendasari sikap para pemimpinnya. Tiga yang pertama mungkin sudah dimiliki, yaitu self esteem (percaya diri), love (perhatian terhadap orang lain), dan faith (sikap terhadap Tuhan). Tiga sikap itu mutlak dimiliki, digarisbawahi dalam peraturan-peraturan, dan tentu saja dijaga oleh ribuan mata. Tetapi dua sikap yang terakhir sangat menentukan apakah mereka bisa membawa kita ke depan dengan “memory of the future”. Kedua sikap penting itu adalah hope (sikap terhadap masa depan) dan forgiveness (sikap Anda terhadap masa lalu).
Kata psikiatris Alfred Adler, “hope is the foundational quality of all change.” Hope-lah yang membuat manusia bergerak menuju sasaran tertentu. Ia merupakan ekspektasi realistik tentang sesuatu hal yang dipercayai akan menjadi kenyataan di kemudian hari. Pada masa transisi sebagian besar orang termasuk pemuja dan para pengamat politik dan ekonomnya mengaburkan harapan-harapan itu. Tapi apalah artinya pemimpin tanpa hope? Pemimpin harus memberikan hope dalam warna yang lebih cerah.
Dalam setiap proses transisi dan pergantian pemimpin, besar sekali kemungkinan hadirnya orang-orang yang dulu merasa tak diberi kebebasan, dikekang, bahkan tertindas, untuk muncul ke atas. Forgiveness adalah kunci bagi kemampuan untuk melihat ke depan. Forginevess adalah kemampuan seseorang untuk memaafkan segala tindakan-tindakan yang salah di masa lalu untuk membawa perubahan ke depan. Orang-orang yang merusak kita di masa lalu tentu saja menumbuhkan efek-efek negatif terhadap hidup kita sekarang, dan masih akan terus mempengaruhi masa depan kita secara negatif di masa depan kecuali kita mau memutuskan hubungan emosional itu dengan masa lalu, yaitu berdamai dengannya. Memaafkan masa lalu, adalah pilhan yang paling bijak.
Orang-orang yang tidak dapat memaafkan masa lalu itu terbagi dalam dua kelompok, yaitu mereka yang ditumbangkan (dan merasa dulu lebih baik) dan mereka yang menumbangkan (karena merasa dulu tidak lebih baik, tertindas). Nelson Mandela dan Dalai Lama memilih untuk berdamai dengan masa lalu. Afrika Selatan sekarang tumbuh perekonomiannya dengan sehat. Demikian pula dengan Andi Grove, CEO Intel, yang dulu dikejar-kejar Nazi di Hungaria, atau kakak beradik Wilbur yang berhasil menerbangkan benda yang lebih berat dari udara (yang berdamai dengan ayahnya, Pak Pendeta yang mengatakan cuma malaikat yang bisa terbang). Thomas Alva Edison dan Bill Gates juga memilih berdamai dengan sekolah-sekolah, kendati mereka mengalami masa-masa sulit di sekolah sehingga drop out atau bahkan dikeluarkan.
Di Indonesia, banyak orang yang bicara tentang cinta, kebebasan individu dan kecintaan pada Tuhan, tetapi pada saat yang sama mereka tidak berdamai dengan masa lalu mereka. Itu sebabnya mereka akan sulit melihat ke depan, bahkan sulit membawa kita ke depan. Ketika bangsa-bangsa maju sudah mengatakan, “belajarlah dari masa depan,” kita masih “belajar dari masa lalu,” dan berputar-putar di sana sehingga wabah “demam berdarah” pun tak bisa kita atasi.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home