TENTANG MUSLIM EXCHANGE PROGRAM
(oleh2 Lily dr Melbourne)
From: "Ardas, Arlina Veralda"
Date: Sat Jun 19, 2004 5:24 am
Subject: TENTANG MUSLIM EXCHANGE PROGRAM
Ass. Wr.Wb.
Dear temans,
Alhamdulillah, bersama dua orang rekan dari Yogyakarta, pada tanggal 17-30
Mei 2004 yang lalu saya berangkat ke Australia dalam rangka
Indonesia-Australia Youth Exchange Program. Program ini diprakarsai oleh
Australia National University (ANU) dan University of Melbourne (Unimelb)
dengan didanai oleh Australia-Indonesia Institute (AII)
TENTANG MUSLIM EXCHANGE PROGRAM
Sering kali terjadi kesalahpahaman terhadap Islam dalam pandangan sebagian
besar masyarakat dunia barat, apalagi setelah serangan terorisme 11
September di Amerika Serikat. Kesalahpahaman ini juga terjadi bagi umumnya
masyarakat di Australia
Dalam kaitan itu, AII menyelenggarakan program pertukaran Muslim (Muslim
Exchange) yang antara lain diharapkan dapat menjadi bagian dalam upaya
menghapus kesalahpahahaman tersebut, khususnya bagi Islam di Indonesia,
sekaligus menyambung tali silaturahmi sesama saudara Muslim di kedua negara
tersebut.
Program ini diprakarsai Profesor Virginia Hooker dari jurusan Asian Studies
ANU yang bekerja sama dengan Profesor Merle Ricklefs dari jurusan Asian
Studies Unimelb. Program ini dilaksanakan selama 3 tahun fiskal
berturut-turut, yaitu tahun 2002/2003 sampai 2004/2005. Tiap tahunnya,
sekitar 12 orang Muslim dari Indonesia, diberangkatkan ke Australia selama 2
minggu, untuk mengunjungi institusi dan komunitas Muslim di sana, beberapa
organisasi agama non-Muslim pun masuk ke dalam agenda kunjungan. Sebaliknya,
sejumlah Muslim asal Australia juga mengunjungi Indonesia dalam jadwal yang
berbeda
Kedua belas Muslim Indonesia ini dibagi menjadi 4 kelompok dan
diberangkatkan dalam jadwal yang berbeda. Saya bersama Emil dari Ikatan
Jamaah Ahlul Bait (Ijabi) Yogyakarta dan Trias dari Nasyiatul Aisyah
Yogyakarta, berkesempatan untuk ikut group ke-4 di tahun kedua dalam
rangkaian Muslim Exchange Program. Kota-kota yang kami kunjungi adalah
Melbourne, Canberra, Wollongong dan Sydney.
MELBOURNE
Setelah terbang 1,5 jam Jakarta-Denpasar dan 4,5 jam Denpasar-Melbourne,
kami tiba di bandar udara internasional Melbourne pukul 6 pagi di saat
langit masih gelap. Bulan Juli merupakan musim gugur, sehingga matahari
terbit pada pukul 7.12. Kami dijemput Sarah dari Islamic Council of Victoria
yang menjadi pemandu kami selama 6 hari di Melbourne (Victoria adalah nama
negara bagian dimana Melbourne menjadi ibukotanya).
Melbourne merupakan kota berpenduduk terpadat kedua di Australia dengan
jumlah penduduk 3,2 juta jiwa (bandingkan dengan Jakarta!). Kota ini
dibangun tahun 1800-an, dengan struktur kota yang sangat rapi, dilengkapi
dengan trem sebagai salah satu sarana transportasi dalam kota. Tidak sulit
untuk mencari makanan Indonesia di sini, karena jumlah orang Indonesia yang
belajar di Melbourne ini cukup banyak. Melbourne juga merupakan salah satu
kota favorit bagi pelajar dari belahan dunia. Di kota ini kami menginap di
apartemen yang terletak tepat di pusat kota.
Di kota ini kami mengunjungi Islamic College, Migrant Resource Center,
Victoria Arabic Social Service, dan sebagainya. Termasuk diskusi dengan
mahasiswa Indonesia yang mengajar atau melanjutkan studi University of
Melbourne. Salah satu topic pembicaraan kami pada saat itu adalah...
poligami!
Salah satu kunjungan yang menarik di Melbourne adalah kunjungan ke
Multi-Cultural Section di Victoria Police Station Regional 3. Di sana kami
diterima oleh Multi-Cultual Counsultant bernama Ali Gurtag, seorang migran
Muslim yang berasal dari Turki. Ali menjelaskan bahwa Kepolisian Negara
Bagian Victoria terbagi menjadi 5 regional. Dan sejak tahun 2000, tiap
regional memiliki divisi Multi-Cultural yang minimal beranggotakan 2 orang
konsultan dari golongan minoritas yang ada di regional tersebut. Misalnya di
regional 3 ini, terdiri dari Ali dari golongan Islam, dan rekannya dari
Kristen Ortodoks. Di tempat tertentu, bisa juga terdapat konsultan dari suku
Aborigin atau kaum minoritas lainnya.
Fungsi dari konsultan ini adalah sebagai penyambung lidah bagi hukum dan
kepolisian, terhadap masyarakat minoritas, yang terkadang merasa tidak
nyaman bila harus berhadapan dengan polisi. Ini merupakan salah satu upaya
kepolisian untuk meminilmalkan kesalahpahaman antar warga Victoria yang
multi-kultural. Misalnya, sebelum divisi ini dibentuk, ada suatu kejadian
dimana seorang polisi kulit putih mendobrak pintu rumah seorang Muslimah.
Karena ketika pintu rumah diketuk, pemilik rumah tidak membukakan pintu
selama lebih dari 5 menit, sehingga polisi menyangka pemilik rumah tidak mau
mempersilakan dia masuk. Padahal alasan kenapa Muslimah tersebut tidak
membukakan pintu adalah karena yang bersangkutan sedang sibuk mengenakan
kerudungnya.
Kantor Multi-Cultural Section ini juga memiliki peranan penting untuk
mengedukasi komunitasnya mengenai kaum minoritas. Misalnya ketika terjadi
teror 11 September dan bom Bali, kantor ini mengadakan sejumlah kelas
pengenalan terhadap Islam, untuk mencegah kebencian awam terhadap Islam.
Begitu pula bila terjadi pendiskreditan warga terhadap kaum minoritas
lainnya. Tampaknya warga kulit putih merasa lebih nyaman bila mendapatkan
informasi mengenai kaum minoritas, misalnya Islam, dari pihak kepolisian
dari pada institusi Islam itu sendiri.
Walaupun acara sangat padat, kami sempat juga berwisata ke Heallesville
Sanctuary, yaitu semacam kebun binatang yang khusus memelihara hewan asli
Australia (yang ternyata bukan hanya Kangguru dan Koala saja!). Kami juga
sempat mengunjungi Melbourne Museum dan pasar kaki lima yang ada tiap hari
minggunya (persis pasar ular di Jakarta atau Cimol di Bandung, tapi dalam
versi lebih rapi dan beradab tentunya....)
CANBERRA
Kota kedua yang kami kunjungi adalah Canberra, yang jaraknya 1 jam dari
Melbourne dengan menggunakan pesawat. Kota ini merupakan ibukota negara
Australia, yang berpenduduk 320 ribu orang saja, dan bertambah menjadi dua
kali lipatnya di saat rapat kabinet atau majelis berlangsung. Kota ini
benar-benar seperti kota mati di malam hari. Canberra merupakan suatu kota
yang dibentuk pada tahun 1901, yang desainnya diciptakan dari sebuah
kompetisi desain tata kota. Diawali dengan perseteruan antara Melbourne dan
Sydney yang 'berebut' menjadi ibukota negara, maka diambil jalan tengah
untuk membuat suatu kota baru yang terletak tepat di antara 2 kota tersebut.
Di Canberra ini lebih banyak kegiatan kami adalah di area ANU, diantaranya
bertemu dengan Profesor jurusan Asian Politic, ANU Student Chaplain
(organisasi yang menjadi induk organisasi agama di universitas-universitas),
termasuk dengan para mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil kuliah S2
atau S3 di sana. Topik diskusi dengan mahasiswa Indonesia ini, rupanya tidak
jauh berbeda dengan topik teman-teman di YISC, yaitu tentang.... jodoh!
Hari terakhir di Canberra ini kami juga sempat diwawancara oleh koran lokal
Canberra Times, dengan judul artikel "Indonesia Muslim Visitors Spread
Peaceful Message" (atau semacam itu lah, saya juga lupa)
WOLLONGONG
Wollongong hanya berjarak 1 jam dari Sydney dengan menggunakan kereta api.
Kota ini hanya berpenduduk 250 ribu orang. Tetapi suasana kota yang diapit
oleh gunung dan pantai ini jauh lebih hidup dan hangat dari pada di
Canberra.
Agenda kunjungan di kota kecil ini sangat berbeda dengan di kota2 lainnya.
Kami tidak mengunjungi institusi apa pun, kecuali beramah-tamah dengan
walikota Wollongong. Sisanya kami gunakan untuk menikmati hotel tempat kami
menginap yaitu Novotel (wah, di Indonesia saja, saya belum pernah menginap
di hotel Novotel!), menikmati pantai, jalan-jalan ke pegunungan, dan
mengetahui kehidupan sebuah keluarga kulit putih Australia, bernama Robert
Goodfellow.
Robert adalah seorang Doktor di jurusan Asian Business di Universitas of
Wollongong, konsultan anti-narkotika di rumah sakit umum (yang mewahnya
melebihi RS Pondok Indah!), Business Development Manager di City Museum of
Wollongong, kontributor harian the Jakarta Post (heran, darimana punya
energi sebanyak itu!) , serta ayah dari 3 orang anak yang berbakat dan
seorang istri yang sangat cantik.
Sesuai dengan namanya (goodfellow = orang yang baik), Rob memang memiliki
kepribadian yang sangat menyenangkan. Dia selalu bersemangat untuk menjamu
tamu-tamunya dari Indonesia, termasuk menjadi 'bapak asuh' bagi para
mahasiswa di Wollongong. Di antaranya membantu mencari dana pendidikan,
memeriksa thesis mahasiswa terutama dalam hal grammar, sebelum
dipresentasikan. Tampaknya Rob memang memiliki ketertarikan yang besar
terhadap Indonesia, khususnya Yogyakarta. Dalam hidupnya, ia sudah
mengunjungi Indonesia selama 65 kali!
Rob pernah menghabisakan masa 1 tahun mengajar di IAIN Yogyakarta. Ia
memiliki bahasa Indonesia yang fasih. Bahkan ia dan keluarganya, selain
memiliki nama barat, juga memiliki nama Indonesia, ia memilih nama Sujoko
untuk dirinya (saya sempat bingung, ketika sampai di stasiun kereta api, ada
bule bicara bahasa Indonesia dan mengaku bernama Sujoko), Fatimah untuk
istrinya, dan Budiman serta Marhein (dari Marhaenisme, karena ia pengagum
bung Karno). Bahkan, ia memberi nama Petrus pada temannya Peter (yang
kemudian kami ganti namanya menjadi Petruk) dan Martono untuk temannya
Martin. Bersama Martin, Rob telah menerbitkan 8 buah buku tentang bisnis
yang beberapa diantaranya telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
SYDNEY
Kota pelabuhan dan perdagangan ini merupakan kota tujuan terakhir kami dalam
lawatan ke Australia. Kota terbesar dengan penduduk hampir 4,5 juta jiwa ini
(lagi2 bandingkan dengan Jakarta), merupakan kota paling semrawut di
Australia. Bagi kami, kota ini pun bukan kota yang ramah bagi wisatawan
seperti Melbourne, terutama bagi salah satu teman saya yang dijambret orang
dipinggir jalan, sehingga yang bersangkutan terpaksa menghabiskan waktunya
di Konsulat Indonesia untuk mengurus paspornya yang hilang.
Perjalanan di Australia menjadi anti-klimaks, program di Sydney yang memakan
waktu 6 hari 5 malam ini, terpaksa bubar sebagian, karena pemandu kami di
Sydney harus menemani teman saya mengurus pembuatan paspor. Untungnya (atau
ruginya?) saya terpaksa pulang lebih dulu pada tanggal 30 Mei, lebih dulu
dari teman2 saya yang pulang tanggal 3 Juni karena jatah cuti saya dari
kantor sudah habis. Jadi saya tidak mengalami hari-hari di Konsulat. Saya
hanya sempat menghabiskan waktu 1 malam di Sydney, dan melihat Sydney Opera
House dari balik kaca mobil, sebelum menuju international airport untuk
kembali ke Indonesia.
That's okay, I'll be back for Sydney ( I hope ;P).. BTW foto2 kegiatan bisa
dilihat di
http://f2.pg.photos.yahoo.com/ph/lilyardas/album?.dir=/b8f9
&.src=ph&store=&prodid=&.done=http%3a//f2.pg.photos.yahoo.com/lilyardas
ISLAM DI AUSTRALIA
(sumber Kedutaan Australia di Indonesia)
Sensus Australia terakhir pada 1996 memperlihatkan laju pertumbuhan, yang
mengesankan dari jumlah penduduk Muslim Australia sebesar 200,885 jiwa, atau
meningkat 161% dala waktu 15 tahun terakhir, dibandingkan jumlah penduduk
Australia secara keseluruhan hanya meningkat sebesar 21,7% dalam periode
yang sama. Beberapa perkiraan terakhir menunjukkan umat Islam Australia kini
berjumlah lebih dari 300,000 jiwa
Komunitas Muslim Australia berasal dari lebih kurang 60 negara, yang
terbesar adalah dari Lebanon dan Turki. Basis oraganisatoris komunitas
Muslim Australia meliputi lebih dari 100 kelompok yang mewakili kepentingan
warga Muslim pada tingkat local atau regional. Selain itu dewan-dewan Islam
yang mewakili komunitas Muslim yang lebih luas telah didirikan di semua
Negara Bagian dan Teritori Australia. Seluruh dewan tersebut bernaung di
bawah suatu badan nasional tertinggi, Australian Federation of Islamic
Councils (Federasi Dewan Islam di Australia)
Di Australia terdapat sepuluh sekolah dasar Isalam 11 gabungan sekolah dasar
dan menengah. Dewasa ini terdapat sekitar 100 mesjid di Australia, terutama
di New South Wales dan Victoria. Masjid pertama Australia dibangun di Marree
di bagian utara Australia Selatan pada tahun 1861. Masjid besar pertama
dibangun di Adelaide pada 1890 dan Broken Hill (New South Wales) pada tahun
1891.
Kaum Muslim sudah hadir di Australia sejak sebelum adanya pemukiman Eropa di
Australia. Diperkirakan nelayan dan pedagang dari Makaras telah mengunjungi
bagian utara Australia mulai abad 16, tetapi pupolasi semi permanen pertama
adalah penunggang kuda Afganishtan pada tahun 1800an
Cikal bakal populasi Muslim Australia sekarang ini datang setelah Perang
Dunia kedua, terutama dari orang Turki dari Siprus yang mencari penghidupan
baru di Australia. Laju pertumbuhan populasi Muslim kembali meningkat pada
1972, ketika kebijakan multi-kulturalisme dicanakan sebagai tema kebijakan
iimigrasi Autralia. Sebelumnya sebagian besar imigran Muslim berasal dari
Eropa. Muslim Lebanon dalam jumlah besar mulai bermikim di Australia pada
tahun 1970an
3 Comments:
wah.. ambil2 tulisan saya ndak pake pamit :D
January 27, 2006 at 6:49 PM
suka Kak Tulisannya :-)
October 8, 2016 at 3:55 PM
saya juga ingin ikut Muslim Exchange Program Kak . .
October 8, 2016 at 3:57 PM
Post a Comment
<< Home