Pemakaman Sederhana untuk Seorang Luar Biasa
"In Memoriam" Husein Mutahar
(dr artikel kompas)
Oleh Bondan Winarno
MENDUNG menggayut, membuat langit Jakarta kelabu Kamis pagi (10/6)
lalu. Sesekali gerimis merenai. Di sebuah ruas jalan sempit, di
sebelah Pasar Cipete, beberapa mobil silih berganti berhenti di depan
rumah duka. Mantan Mensesneg Moerdiono telah hadir malam sebelumnya.
Pagi itu tampak Menlu Hassan Wirajuda, mantan Hakim Agung Benjamin
Mangkoedilaga, dan beberapa mantan pejabat lain-seperti Fuad Hassan,
Kusnadi Hardjasumantri, Mastini Hardjoprakoso-dan ratusan kerabat dan
sahabat. Banyak di antaranya memakai seragam Pramuka dan Paskibraka.
Alam bagai sedang ikut berkabung. Di ruang tamu rumah sederhana itu,
terbujur layon renta seorang laki-laki yang sedang menerima
penghormatan terakhir dari orang-orang yang mengagumi dan
mencintainya. Tidak sedikit yang datang dengan berlinang air mata.
Husein Mutahar, pencipta lagu Syukur dan puluhan lagu lain,
penyelamat Bendera Pusaka, tokoh kepanduan dan pendiri Gerakan
Pramuka, mantan pejabat tinggi negara, mantan Duta Besar RI di Takhta
Suci Vatikan, penerima anugerah Bintang Gerilya dan Bintang
Mahaputra, meninggal dunia Rabu petang (9/6) pukul 16.30, dua bulan
menjelang ulang tahunnya yang ke-88.
Di dekat jenazah diletakkan sebuah foto berwarna berukuran besar.
Mutahar dalam seragam Pramuka, lengkap dengan tanda jasa Bintang
Gerilya dan Bintang Mahaputra, serta tanda kemahiran Pramuka sebagai
pembina bertaraf internasional. Foto itu baru diambil dua minggu yang
lalu oleh cucunya, dengan kamera digital pinjaman.
Foto itu sendiri merupakan firasat besar. Mutahar tidak pernah suka
dipotret. Ia selalu mencari alasan untuk pergi setiap kali melihat
orang bersiap membuat potret. Tiba-tiba ia ingin dipotret dengan
berbagai atribut. Sebetulnya ia juga ingin dipotret dengan jas hitam,
tetapi jasnya sudah sangat kebesaran sehingga kurang pantas dikenakan.
Mutahar terlihat sangat kurus dalam foto itu. Kedua bola matanya
sedang melihat ke atas, seolah-olah ia sedang menyapa Al Khalik yang
ada di sana. Sejak rumah kediamannya di Jalan Prapanca Buntu terbakar
habis sekitar lima tahun silam, ia tampak seperti "mengundurkan diri"
dari pergaulan ramai. Ia bahkan menolak kembali ke rumah yang telah
dibangun kembali oleh anak-anak pandunya. Ia memilih tinggal di rumah
anak semangnya yang sederhana. Ia pun mulai tampak semakin kurus
karena nafsu makannya pun menurun drastis.
Beberapa bulan yang lalu, ia terjatuh ketika hendak bangkit dari
kursi. Sebetulnya tak ada tulang yang patah atau retak. Tidak juga
keseleo. Tetapi, sejak itu ia menjadi sulit berjalan. Ia lebih banyak
berbaring di tempat tidur. Selama sebulan terakhir ia semakin enggan
makan. Praktis hanya susu dan madu saja yang membuatnya bertahan
hidup dalam hari-hari terakhirnya.
Ia bahkan seperti men-skenario-kan prosesi pemakamannya. Pada 20
Februari 2002-sebagai seorang pengagum simbolisme, ia betul-betul
memanfaatkan "getaran" angka 20-02-2002 itu-Mutahar pergi ke notaris
untuk mendiktekan wasiatnya. Wasiat tertulis itu sebetulnya persis
seperti yang pernah saya dengar langsung dari mulutnya pada akhir
tahun 1970-an. Ia ingin dikebumikan sebagai rakyat biasa dalam tata
cara Islam.
Berdasar surat wasiat itu, Indradjit Soebardjo dan Sangkot Marzuki-
dua anak didik Mutahar di kepanduan dulu-yang langsung datang ke
rumah duka, segera memutuskan untuk memakamkan jenazah di Taman
Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut tanpa upacara kenegaraan, tradisi
kepanduan, ataupun ritus lainnya.
Setelah sembahyang zuhur, di bawah gerimis, keranda yang membawa
layon Mutahar dibawa keluar dan diangkut dengan mobil jenazah ke TPU
Jeruk Purut. Dua bus Kopaja yang sederhana-bukan Big Bird ber-AC-
mengangkut anggota keluarganya. Diiring sekitar 50 mobil pelayat
lainnya.
Upacara pemakaman berlangsung khidmat dan sederhana. Persis seperti
yang diingini Kak Mut. Gerimis merenai. Air mata berderai.
Tanah kembali kepada tanah!
Mahaputra berjasa
Husein Mutahar seharusnya berhak dimakamkan di TMP Kalibata dengan
upacara kenegaraan. Lahir di Semarang pada 5 Agustus 1916, sebagai
pemuda pejuang Mutahar ikut dalam "Pertempuran Lima Hari" yang heroik
di Semarang. Ketika Pemerintah Bung Karno hijrah ke Yogyakarta, ia
diajak Laksamana Muda Mohammad Nazir yang ketika itu menjadi Panglima
Angkatan Laut. Sebagai sekretaris panglima, ia diberi pangkat kapten
angkatan laut.
Ketika mendampingi Nazir itulah Bung Karno mengingat Mutahar
sebagai "sopir" yang mengemudikan mobilnya di Semarang, beberapa hari
setelah "Pertempuran Lima Hari". Mutahar kemudian "diminta" oleh Bung
Karno dari Nazir untuk dijadikan ajudan, dengan pangkat mayor
angkatan darat.
Sesaat sebelum Bung Karno dibuang ke Sumatera, setelah serangan
Belanda yang melumpuhkan Yogyakarta pada 1948, Mutahar diserahi
bendera merah putih yang pertama kali dikibarkan pada proklamasi
kemerdekaan di Pegangsaan Timur. Bendera itu aslinya dijahit oleh
Fatmawati, istri Bung Karno, ibunda Presiden RI Megawati. Mutahar
menyelamatkan bendera itu, yang kemudian dikenal sebagai Bendera
Pusaka.
Nama Mutahar harus dicatat dalam sejarah sebagai orang yang berjasa
dalam gerakan pendidikan kepanduan. Pada awal 1960-an, Partai Komunis
Indonesia berusaha menyetir kepanduan menjadi mirip pionir di Uni
Soviet. "Berkonspirasi" dengan PM Djuanda, ia kemudian berhasil
membelokkannya jadi kompromi yang lebih netral, Gerakan Pramuka.
Ia biasa dipanggil dengan sebutan Kak Mut, sesuai dengan tradisi
kepanduan. Ia masih akrab dengan bekas anak didiknya dan sering
menyelenggarakan reuni bersama mereka. Karena Kak Mut tidak menikah
seumur hidupnya, semua anak pandu Kak Mut adalah anaknya. Otomatis,
anak-anak mereka semua menjadi cucu-cucu Eyang Mutahar. Mutahar juga
mempunyai sembilan orang a- nak semang-istilah yang lebih disukainya
ketimbang anak angkat atau anak asuh.
Pencipta lagu "Syukur"
Mutahar penggemar berat musik klasik. Ia hampir selalu hadir pada
setiap pergelaran musik di Jakarta. Karena itu pulalah Addie MS dari
Twilite Orchestra tak pernah lupa mengundang Kak Mut ke pementasannya.
Sebagai pencipta lagu, ia bisa dibilang spesialis himne. Karya
puncaknya adalah Syukur yang hampir setiap malam kita dengar sebagai
lagu penutup TVRI. Syukur, menurutnya, diciptakan pada 1944, adalah
sebuah puji syukur yang dipersiapkannya untuk kemerdekaan RI yang
ketika itu diduganya sudah hampir tercapai.
Lagu Hari Merdeka yang sering diperdengarkan pada aubade HUT
Proklamasi, menurut pengakuannya sendiri, diciptakan di dalam toilet
Hotel Garuda Yogyakarta. Ketika itu ia sekamar dengan Hugeng-kemudian
menjadi Kepala Polri-yang sama-sama mengawal Bung Karno. Hugeng
kebingungan mencarikan kertas dan pulpen karena Mutahar tergopoh-
gopoh hendak menuangkan gagasannya ke atas kertas.
Lagu-lagu ciptaan Husein Mutahar hampir mencapai seratus. Karya-karya
terakhirnya, antara lain, adalah Dirgahayu Indonesia (diterima
sebagai lagu resmi peringatan 50 tahun Indonesia Merdeka), Himne
Universitas Indonesia, dan beberapa himne yang lahir dari
keprihatinannya atas kehancuran alam Indonesia.
Ia tampak amat terharu ketika ciptaannya berjudul Syukur dan Hari
Merdeka digarap ulang Addie MS dengan orkes filharmoni di Australia.
Matanya terkatup, beberapa tetes air mata meleleh di pipinya yang
renta, beberapa tahun silam ketika Addie MS memperdengarkan rekaman
itu di rumahnya. Kak Mut sengaja membeli tape recorder baru untuk
mendengarkan karya megah itu.
Perhatiannya pada dunia seni suara sangat tinggi. Ia tak segan
merogoh uang dari koceknya sendiri untuk keperluan itu. Belasan tahun
yang silam, contohnya, ia pernah menunjukkan kepada saya makalahnya
tentang hubungan seni suara dengan Nuzulul Quran. Ia menangis ketika
istri saya membuat sebuah "tesis" musikal tentang Tuhan, dengan
menampilkan berbagai interpretasi tentang Tuhan menurut berbagai
komponis dan penyanyi.
Ia juga suka membina anak-anak muda yang berbakat seni. Ia hampir tak
pernah absen menghadiri pergelaran orkestra remaja Perguruan Cikini.
Pada pergelaran mereka Agustus mendatang, pastilah absennya Om
Mutahar akan terasa sangat mencekam.
Ya, kita semua memang harus menerima realita ini. Kak Mut telah
tiada. Ia telah pulang ke Timur Abadi-sebuah kata sandi yang suka
dipakainya untuk menyebut Hadirat Allah.
Selamat jalan, Kak Mut. Allah Sang Mahapencipta telah membebaskanmu
dari segala derita dunia. Hati ikhlas kami penuh. Pergilah dalam
damai!
Bondan Winarno Wartawan Senior, Penulis, dan Pramuka
0 Comments:
Post a Comment
<< Home