SEMARANG DI TMII DAN HIKMAH DARI SUNAN KALIJAGA
(Tulisan Heru Widiyanto di milis YISC Al-Azhar)
Tamba ati, iku ana lima perkara
Kaping siji, maca Qur’an sak maknane
Kaping pindo, shalat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang sholeh kumpulanan
Kaping papat, weteng ira ingkang luwe
Kaping lima, dzikir ira ingkang suwe
Salah sawijine, sapa bisa hanglakoni
Insya Allah, Gusti Pangeran ngijabahi
( disenandungkan dengan nada sama dgn nasyid Raihan, yang liriknya : Wahai
Tuhan, aku tak layak ke surgamu , namun tak pula aku sanggup ke
nerakamu.dst>>>judulnya saya lupa)
Bahasa Indonesianya :
( Obat hati itu ada lima hal :
satu, membaca Al-Qur’an dan paham maknanya
dua, melakukan sholat malam
tiga, berkumpul dan bergaul dengan orang-orang sholeh
empat, melakukan puasa
lima, dzikir yang lama
Salah satunya, kalau kita bisa melakukannya
Insya Allah, Allah SWT akan memberikan penyembuhan).
Tembang/nasyid “Tamba Ati’ yang sekarang sering dilantunkan Cak Nun , yang
susungguhnya ciptaan Sunana Kalijaga, mengawali pentas Kethoprak Truthuk
yang inovatif Lakon Pandanaran (berdirinya Kota Semarang) dianjungan Jawa
Tengah TMII, minggu, 20 Juni 2004 kemarin. Karena pentas tersebut juga
diawali adegan Sunan Kalijaga yang sedang memberikan ajaran-ajaran para
cantriknya (sekarang santri) dan secara khusus kepada Jaka Pameling. Tentang
petuah2 bagaimana menghadapi realita kehidupan termasuk secara khusus bila
kelak menjadi pemimpin di suatu negeri.
Di Kadipaten Tirang , adipati dan para jajarannya sedang membahas
pengembangn wilayah sebagai tuntuan perkembangan sosial budaya. Maka
diputuskan utk melakukan perluasan wilayah dengan membuka hutan Asem Arang.
Maka para prajurit pun dikerahkan untuk melakukan aktifias itu. Tetapi tidak
mudah, karena di didalam belantara hutan tsb bermukin Jin2 yang tidak
menerima hal tsb. Perlawanan pun berlangsung yang puncaknya pimpinan jin tsb
marah dan menyusup ke Dewi Sekar Kedathon putri sang adipati hingga
terganggu jiwanya. Usaha penyembuhan pun dilakukan, sampai akhirnya dibuat
sayembara. Siapa yang bisa menyembuhkannya kalau putri dijadikan saudara dan
kalau pria dijadikan suaminya. Setelah ada beberapa orang yang berupaya
menyembuhkan tapi gagal, maka datanglah Jaka Pameling yang dengan dzikir dan
tauhidnya islamnya atas ijin Allah SWT bisa mengusir jin dari sang putri.
Dan jin itupun bisa ditaklukkannya. Maka Jaka Pamelingpun jadi suami sang
Putri.
Selanjutnya atas masukan dari Sunan Kalijaga, Jaka Pameling dengan gelar
Adipati Pandanaran II dan istri agar meneruskan membuka hutan tersebut dan
mendiami serta memakmurkannya. Nama wilayah tersebut oleh Sunan Kalijaga
dinamakan Semarang , dari kata Asem Arang. Peristiwa tsb tgl 2 Mei 1547 yang
selanjutnya ditetapkan hari lahirnya Kota Semarang. Sura dira jayaningrat,
lebur dening pangestuti.( Ahmad ketum, sering pake kata ini...artinya apa
Mad:-))
Salah satu jalan utama di Seamarang adalah Jalan Pandanaran, yang disitu
banyak oleh2 khas Semarang seperti Lunpia dan Bandeng Presto, sehingga
dinamai wingko babat,lunpia dan bandeng presto Pandanaran.Sering pada dapat
kan.....
Kisah berdirinya kota Semarang tsb, dipentaskan dengan meriah dan antusias
penuh rampak gendang , gamelan, gerak tari, lagu/tembang dan percakapan kas
Semarang oleh Duta Seni Jateng Sanggar Greget Seamarang di Anjungan Jawa
Tengah TMMI. Juga dimeriahkan pentas seni lainnya seperti pembacaan puisi,
tari jawa kijang kencana dan tembang kas Semarang (a.l : Simapang Lima Ria,
Gambang Semarang, Goyang Semarang) oleh para Juara Porseni Kota Semarang
tingkat SD yang juga sedang mempersapkan final tingat Jateng. Saya
menghadiri acara ini karena menemani ponakan yang juara baca puisi dan tari
jawa tsb yang juga terlibat dalam pentas tsb. Sehari di TMII, serasa di
Semarang.
Ada hikmah menarik, bahwa ulama dalam hal ini Sunan Kalijaga melakukan
proses leadeship tapi tidak melakukan kekuasaan. Beliau melakukan
kepemimpinan dengan memberikan ajaran-ajaran moral Islam sebagai guru
bangsa. Saat ini bangsa Indonesia juga mebutuhkan guru-guru bangsa sejati
yang yang motivasi utama dakwah dan dan perbaikan umat. Perjuangan kultural.
Sama dengan para kyai NU yang dipimpin Mustofa Bisri dan Masdar Mas'udi yang
mengadakan pertemuan di Tuntang, Semarang yang menegaskan kembali Nu ke
kithah 1926,kembali berperan seperti Sunan Kalijaga. Masalahnya sekarang
adalah para guru moral bangsa belum mengasilkan murid/kader untuk turun jadi
satria penguasa atau bisa jadi penguasa pada "ndableg" diberi ajaran2 moral.
Sehingga Sunan Kalijaga harus turun sendiri ke kekuasaan. Mungkin juga
mencontoh Panembahan Senopati, Sultan Agung dan raja Mataram lainnya yang
bergelar Khalifatullah Sayidin Panatagama, pemimpin negara dan pemimpin
agama. (heru 200604)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home