PADA AKHIRNYA AKU SELALU INGIN PULANG
(solilokui Indah IP)
PADA AKHIRNYA AKU SELALU INGIN PULANG
I
pukul dua belas lewat dua belas. burung besi mendarat empuk di tabing, padang.
begitulah pada akhirnya aku selalu ingin pulang. pulang ke tanah mana pernah kutinggalkan masa kecil yang sebentar. pulang ke ngiang senandung ibu tentang kampuang halaman nan jauah di mato. menggelendot di kaki ayah dalam ayun-ayun taktontong sore hari, “oo.. upik tarunuik anak ayah, ‘nak oooi…”
tan malaka sepuluh masih kokoh meski mulai sepuh. pagar hitam itu pernah menyimpan air mata kecilku ketika berlari pulang mencari peluk ibu. selebihnya masih pohon jambu yang sama di teras depan meski tanpa cengkeh, rumpun tebu dan ayunan. juga pohon mangga yang sama di teras samping tapi dengan pergola baru dan tonggak-tonggaknya yang kaku. Dan aku sudah harus berangkat, menuju sawahan, sebelum lengkap semua tercatat. bernostalgi dengan belimbing subur di balik tembok pecah. menerawang tanah berilalang di balik masa-masa cerah yang pernah hilang.
jelang sore, kutelusur cendol pattimura dengan empingnya yang mewah, beberapa tusuk sate, hingar-bingar knalpot tepi jalan, parak kerakah dengan gunung biru menawan di ujungnya dan kali parak kopi andalas yang coklat namun tak terlalu deras. duhai. aku teringat padamu. Teringat pada sesuatu yang mungkin pernah kita simpan di antara tembok-tembok kampung cina lama, di antara pondok juga los-los pasar tanah kongsi, di antara sampan-sampan berjejer sepanjang muaro seberang palinggam, di antara lampu-lampu hias dan lengkung busur jembatan siti nurbaya yang sebelumnya masih rencana, di antara senja masa kecil dalam empek-empek purnama, es buah depan bioskop dan nasi kapau pagi-sore yang tak pernah bosan kita lulur lewat kerongkongan.
dunia mungkin berubah, tapi sebentuk kenang masa kecil kita biarkan absolut di rongga dada dan tak pernah pindah.
-padang, 7 desember 2002-
PADA AKHIRNYA AKU SELALU INGIN PULANG
II
hari kedua. ziarahku menuju tunggul hitam tabing ujung landasan.
menyisakan teduh payung dan gugur kemboja di bawah langit menggunung.
uci, babak, mungkin di rentang waktu segerobak masa lekang, tapi tidak
di dadaku
satu jam lima belas menit kutinggalkan kota padang menuju pariaman.
sepanjang enam puluh lima kilometer kunikmati cerah petak sawah, rimbun rumpun-rumpun tebu, lebat ladang cabai, hijau daun kunyit dan julang batang-batang kelapa. ada senda gurau anak petani dengan caping di atas kepalanya. ada sekumpulan kerbau dengan lumpur di sekujur tubuhnya. sesayup pekik saluang seperti menyambut nada-nada pulang di kepala. pepohon jengkol tepi jalan memamerkan ranum dan lebat buahnya. beruk pemetik kelapa menunjukkan ketangkasan, menemani setapak anak tangga turun menuju surau tua berlumut dalam dusun. tahukah kau, tak jauh dari tempat ini sekolam mata air pernah mengendapkan kenang masa kecil demikian dalam. kusesap lelah dalam manis ruas tebu. membiarkan ampasnya lumat oleh tanah dan waktu.
bergitulah roda berputar ke simpang jagung, sungai sariak, sicincin. pada air terjun lembah anai hujan jatuh selebatnya. menampar keras tebing-tebing terpapas dan perbukitan. pohon-pohon pinus menusuk langit sebagai perhiasan bukit. kebun-kebun kol matang seperti rinduku yang siap dipanen sepanjang lereng. lewati padang panjang dan koto baru, tiba aku di simpang pendakian gunung merapi – singgalang. malam mulai renta ketika kutangkap kerlap-kerlip bintang rendah bertebaran dari padang luar.
nun jauh di sana, di kota bukittinggi, kutahu ada yang sedang mempertaruhkan tiktak waktu.
-padang-bukittinggi, 8 desember 2002-
PADA AKHIRNYA AKU SELALU INGIN PULANG
III
tangah sawah. duduk di atas tikar sehabis jamaah, subuh terasa demikian pendek. kota ini di lembah tri arga, tiga gunung tinggi singgalang, merapi dan sago. sejauh mata memandang langit berhias siluet urban. tanah berselubung padi, sayur dan buah-buahan. gerombol jeruk limau menggodaku dari balik pagar. kematangannya menjuntai hingga merundukkan batang-batang ke tanah. mungkin salah satu yang kelak kurindukan adalah mengunyah bengkuang dari kebun sendiri, juga daun singkong, terong dan pepaya. sebelum surya meninggi, kupastikan secangkir teh panas dan lontong menempati posisi. angin menyapu rambutku. membasuh perih sebagian paru-paru. tiba-tiba ada menyelinap lindap. sebentuk haru.
tarok. awal ziarahku hari ketiga. tak ada kemboja. cuma ranting-ranting tua yang tegar serta ilalang yang tak henti gemetar
di pusaramu, opa
rerumput bisu
menangkap sepi dadaku
biru
langit masih bersahabat dalam siang yang tidak mendung tidak juga cerah.
dan kususur langkah teramat panjang. jejak hilang, reruntuh rumah gadang. menemu sesisa air mata yang jatuh di anak tangga terakhir tempat berakar sejarah lahir
hingga malam itu, aku masih duduk di keramaian terang bulan, dengan sebungkus sate dan jam gadang yang kenyang jadi saksi, kerinduan anak negeri, pada tanah sendiri
-bukittinggi, 9 desember 2002-
PADA AKHIRNYA AKU SELALU INGIN PULANG
IV
ziarah keempat. pagi pecah dalam lontong tauco dan ketupat sayur. pasar atas mengikat kakiku. kaos, selop, kerudung, tak henti menyeret ke ujung. dan sekejap ada yang kering. selain ikan salai, bilih dan belut garing.
matahari belum sampai ubun-ubun ketika tapal kuda dan lonceng bendi membangunkan sepi wajah padi. gulai cubadak, dendeng balado, usus, kalio ayam. tak ada yang lebih nikmat selain menarikan jemari di atas daun pisang dengan semenu lengkap nasi kapau berkuah, secangkir teh dan sehampar tikar pandan yang hangat.
melanjutkan perjalanan, ada yang tiba-tiba bertempelan di langit-langit lembab gua jepang. memantul-mantul dinding hijau ngarai sianok. ada yang tiba-tiba timbul tenggelam di kebiruan danau maninjau. Melipir pematang-pematang kaki bukit dan dangau-dangau. ada yang tiba-tiba berkelebatan di balik mendung lubuk basung. menderas plta dan kerambah ikan tepi hutan. ada yang tiba-tiba berkejaran menanjak menurun sepanjang kelok empatempat. seperti ingin disampaikan komatkamit beruk di kelok lima sampai delapan. seperti ingin ditunjukkan curam di kelok dualima yang paling tajam, lesat secepat ingatan, kekasih, namamukah gerangan?
-bukittinggi, 10 desember 2002-
PADA AKHIRNYA AKU SELALU INGIN PULANG
V
teman pagi ini adalah secangkir kopi, lapis pisang goreng dan ketan harum santan. sejujurnya ingin kupatahkan saja langkah untuk tidak
berangkat. tak berhasil kubuktikan perpisahan bukan kehilangan yang berat.
ziarahku kelima lewati ikan sakti sungai janiah, tabek patah dan parak jua. ada selokan-selokan bening. sekumpulan bebek patuh mengiring tuannya. awan tipis pecah berarak membelai lereng gunung yang erat memeluk sawah. dadaku buncah menyaksikan keindahan tumpah setumpah-tumpahnya.
batusangkar ibukota tanah datar. di depanku istano pagaruyuang. berlatarbelakang gunung bungsu tempat wisata para pendaki. Duplikat peninggalan rajo terakhir minangkabau yang konon aslinya di istano si rinduang bulan. pada kisah picuran tujuh, tabuah larangan, binuang sang kerbau, gumarang kuda si cindua mato hingga tiga lantai sebelas gonjong tujuhdua tonggak istano basa, kurunut akar leluhur. kebesaran bundo kanduang yang mengutamakan kesejajaran martabat perempuan dan laki-laki, sejarah akar, agung adat budaya.
berlanjut ke batu batulih dan batu batikam. seekor elang bersahaja di puncak pohon tua adalah satu dari sekian pemandangan ganjil yang menyirap darahku. menit-menit kemudian kutuju danau singkarak. Memecah perak permukaannya dengan sampan. oleng ke kiri oleng ke kanan. Ada mengombang-ambing di ujung jantungku. keteduhan yang entah sempat entah tidak akan kunikmati lagi. gerimis menghujamkan jarum-jarumnya tepat ketika sampan menepi. membuyarkan sketsa lama permukaan dengan pola-pola baru yang mungkin lebih abadi.
solok, simpang lubuk selasih, alahan panjang. ada padi kuning menunggu panen. ada pelangi bertingkat di balik rinai dan matahari siang. kutuju danau di atas-danau di bawah. serambatan kebun-kebun markisah. menggigil dalam panorama danau biru pekat, gemeretak kilat dan hujan lebat.
di jalan kabut turun tiba-tiba. sesaat malam buta. kupastikan jarak terjaga, lampu menangkap tanda. ketegangan tanpa jeda. hingga sampai panoraman sitinjau laut, gerbang masuk arah timur kota padang. lewati indarung, entah apa bertanggalan perlahan-lahan dari mataku. menyisakan pedih sekaligus rindu.
-bukittinggi-padang, 11 desember 2002-
PADA AKHIRNYA AKU SELALU INGIN PULANG
VI
seperti negeri dongeng. blab! aku bangun di lembar yang berbeda dari kemarin.
ziarah keenam. pantai padang. kutemani terbit matahari dari pinggir dam.
membiarkan angin menyapa gerai rambut dan rona pipi. merekam ketika.
sebelum menuju air manis, kunikmati jejer perahu dari atas jembatan gantung muaro. menghitung lelah wajah nelayan tertidur di atas papan dan menyimpan indah pinggir kali berhias bangunan-bangunan tua yang masih lestari.
perjalanan mendaki menguji kekuatan dan kecepatan roda-roda membawaku.
dinding-dinding kaku, jurang terjal, hutan lindung, langit biru. Tiba aku di pantai air manis berpasir kelabu. geladak terpotong dan temali batu mengembalikan legenda anak durhaka si malin kundang. di balik kaki-kaki berdebu kucari tempat mana pernah ditumpahkan selaut air mata. di kejauhan pulau pisang menggoda pandang. di belakang bukit kujelajah teluk bayur pelabuhan.
sore magenta kututup dengan miso si kawet
malam renta kusambangi dengan beberapa ketuk pintu, kenang membatu
-bukittinggi-padang, 12 desember 2002-
PADA AKHIRNYA AKU SELALU INGIN PULANG
VII
merambati tebing-tebing hijau padat. kuselidik muka gua yang konon berpenghuni sekumpulan babi hutan. sampai di pantai putih bungus, caroline, carlos. kucari tempat teduh di bawah pohon berdahan lebat sambil menyesap sari kelapa muda. di atas tikar beberapa bungkus kacang rebus dan jeruk berserak.
obrolan ringan dengan nelayan setempat menghantarku ke gabuo, pulau pasir landai tengah laut. ziarah ketujuh. terumbu karang membiru-hijau di kedangkalan. ikan terbang dan ubur-ubur sesekali lengkapi keindahan. tiba-tiba jelang merapat, penyeimbang sampan kiri patah oleh tampar gelombang. tapi mereka memang sudah teruji pengalaman. tak ada kepanikan
ketika harus dengan sabar menyambungkan kembali kepatahan dengan temali tersisa.
bertelanjang kaki, terik menjilat kulitku. membakar bukan hanya tubuh dan wajah melainkan juga seluruh penat dadaku. silau berpantulan dari kerang dan selimut pasir. kupilih beberapa berwarna, merendamnya dalam botol plastik yang hingga pulang tak lepas kubawa. dan sampai juga senda gurau gelak riang mengarahkanku pada bunyi perut mengerang. siang pun berkeringat dalam gulai kepala ikan, sambalado jengkol, singkong rebus dan aneka ragam penganan tepi pantai di lapau terdekat teluk kabuang.
perjalanan belum berakhir. tapi seperangkat oleh-oleh, senandung saluang-bansi dari dua kotak kaset, beberapa pasang selop dari petak pasar raya kampung jawa, keripik ebi, kacang ampera dan berbungkus-bungkus sate alang laweh yang memanjakan lidah malam itu tak henti menggiringku pada paranoia lembar yang sebentar lagi tamat.
-bukittinggi-padang, 13 desember 2002-
PADA AKHIRNYA AKU SELALU INGIN PULANG
VIII
berangkat setelah subuh, ziarah kedelapan. tahukah kau betapa kampung nelayan bisa sangat menggairahkan di pagi hari ? pukul sembilan di pasir jambak, pasir sebelah. beberapa biduak pinjalang dengan dua penumpang mulai datang. ada yang kompak memberi aba-aba. ada yang siap menghimpun tenaga. bergantian batang-batang kayu diselipkan ke perut sampan. hingga jauh dari pantai, para nelayan sigap memilah hasil tangkapan.
di sisi lain sekelompok pemukat ikan berbaris satu-satu. melilit tali di pinggang, mengarahkan sentakan pada titik putih di kejauhan. senda gurau dan senandung ringan tak lepas dari bibir mereka. kabarnya jaring ditebar sehabis subuh, ditarik mulai pukul delapan hingga pukul sepuluh. bergantung musim hasilnya tak tentu. kadang banyak kadang sedikit. diantara rumput laut, ikan, kepiting, ubur-ubur dan udang, tak jarang sampah, sobekan sandal, botol plastik dan kayu lapuk ikut tersangkut.
pagi itu kunikmati udang saus mentega. gurih terakhir tak berbekas di atas piring melainkan dimataku. tentang buih tepi pantai, ceria anak nelayan bermain di antara batang-batang nyiur dan hangat butir pasir. bagi mereka ombak dan angin adalah teman. lebih dari itu, sumber penghidupan. suatu saat merekalah penguasa laut. penerus kayuh dayung dan bentang layar yang tangguh memeluk badai menantang maut.
ah. kalau bisa. kalau saja bisa. ingin kuingkari siang tak bersahabat ini.
menuju tabing, cuaca murung. sesaat kukira hujan mendengar gelisahku. karenanya ia rela jatuh demi menunda keberangkatan terakhir yang penuh ragu. hempas angin pintu ruang tunggu menggamit kesadaran. lah tiba masanya.
kau sudah tahu, pada akhirnya aku selalu ingin pulang. maka tak ada alasan untuk berhenti. tak pernah ada alasan untuk membiarkan langkah terinterupsi.
pukul empat sore di landasan. mataku mengabut. lambai tangan-tangan mungil menjelma titik kecil yang pelan-pelan hilang.
kekasih, aku pergi
burung besi meninggi
sepotong nyali pasi dalam gemelutuk gigi
-bukittinggi-padang, 14 desember 2002-
1 Comments:
Apa nak jadi dengan Pandan Mewah nie? Dikawal selia oleh orang luar yang mengaku dirinya bergelar Datuk. Menyalahgunakkan amanah parti Umno untuk kebaikan bersama dalam pemilikan pasar malam tapi digunakkan untuk tujuan peribadi. Kawasan padang (green area) untuk tujuan kebaikan penduduk setempat telah mengaku sebagai pemilikannya dengan terbinanya rumah buruk yang menyakitkan mata. Projek terbengkalai bekas miliknya yang tidak jadi (di kawasan hijau) itu membahayakan kanak-kanak yang bermain diatasnya dengan berdirinya bekas-bekas cerucuk yang boleh membunuh. Segala apa yang dianjurkan oleh penduduk setempat untuk kebaikan bersama ditentang olehnya habis-habisan. Seorang lelaki tua yang boleh dikatakan "rumah kata pergi dan kubur kata mari itu" amat dibenci oleh penduduk setempat hakka peniaga pasar malam dikawasan itu yang pernah diherdik dan ditengking olehnya
Sila lawati :
http://pandan-mewah.blogspot.com/
May 17, 2005 at 9:48 PM
Post a Comment
<< Home