Dunia Terasa Sempit di Nelspruit
-imel joel dr johannesburg-
Dunia memang sempit. Di acara Ijtimaa, acara gathering-nya kaum muslimin
Afrika Selatan yang diadakan di Nelspruit, bertemu tidak hanya orang-orang
baru dan pelajar-pelajar Melayu dari beberapa negeri jiran. Juga bertemu
dengan orang yang sudah lama kenal sebelumnya.
---
Akhir pekan yang panjang, 7-9 Agustus 2004, dimanfaatkan oleh kaum muslimin
Afsel untuk berkumpul bersama di kota Nelspruit. Sayapun tak mau
ketinggalan, tidak juga Noor Fahmay dan seorang putranya, Yushri.
Kota Nelspruit yang berjarak kurang lebih 300 km dari Johannesburg, dengan
mobil dapat mobil ditempuh lebih kurang empat jam. Perjalanan setelah
keluar dari Johannesburg cukup membosankan, di kanan kiri kebanyakan
ditemani hamparan tanah-tanah kering dan pohon-pohon yang minus daun. Hanya
sedikit pohon yang diwarnai hijaunya daun-daun.
Satu jam terakhir menuju Nelspruit, suasananya menjadi lain. Kami dihibur
oleh pemandangan yang begitu mengagumkan. Pesona bukit-bukit dan pegunungan
yang lebih hijau di sepanjang perjalanan, seakan menyihir kami, hingga tidak
terasa kamipun telah memasuki kota Nelspruit, ibukota propinsi Mpumalanga.
Hanya beberapa menit memasuki kota Nelspruit, kamipun tiba di lokasi
Ijtimaa. Di sana telah berdiri beberapa tenda-tenda berukuran raksasa. Di
tenda-tenda besar itulah kami dan para jamaah lain meletakkan semua
bawaan-bawaannya seperti tas, bantal, selimut, sleeping bag dan perlengkapan
lain. Di tenda pulalah nantinya kami tidur selama dua malam.
Ketika kami tiba, telah banyak jamaah yang datang. Mereka kebanyakan berasal
dari berbagai kota di Afsel dan beberapa datang dari mancanegara. Saya
sendiri bertemu dengan beberapa orang Afsel bertampang Jawa yang datang dari
kota Cape Town dan Port Elizabeth. Ada juga yang saya temui, empat orang
bertampang Melayu yang datang dari Singapura.
Ijtimaa ini adalah acara umat Islam Afsel yang diadakan rutin setahun
sekali. Walau acara ini diorganisasi oleh Jamaah Tabligh (JT), para jamaah
yang datang tidak bedakan apakah ia anggota JT atau bukan. Juga tidak
dibedakan apakah ia keturunan India, Pakistan, Bangladesh, Melayu ataupun
orang Afrika yang hitam. Kita semua berbaur sebagai umat Islam yang satu.
Dilihat dari jenis acara yang diadakan, tidak ada yang istimewa di Ijtimaa.
Acaranya hanya bayaan (ceramah), ta'lim dan tentu saja shalat dan makan
berjamaah. Sisa waktunya digunakan untuk bertegur sapa, bercengkerama,
bersilaturahmi dengan saudara-saudara muslim yang ditemui. Khusus untuk
anak-anak seperti Yushri, tentu mereka punya acara sendiri, main bola.
Acara bayaan diadakan setelah shalat wajib. Bayaan ini terutama disampaikan
dalam Bahasa Inggris. Tercatat, ada dua kali bayaan yang disampaikan dalam
bahasa lain, satu dalam Bahasa Arab, dan satu lagi dalam Bahasa Urdu
(Pakistan). Namun di dua bayaan tadi, penceramah utama yang ada di mimbar,
ditemani satu penceramah lagi yang bertugas menerjemahkannya ke dalam Bahasa
Inggris.
Ada satu hal yang sangat menarik, ketika bayaan ada beberapa pojok bahasa
yang disediakan buat jemaah yang tidak bisa bahasa Inggris atau bahasa
pengantar lain dalam bayaan. Di pojok-pojok itu, ada seorang yang bertindak
sebagai penceramah, namun hanya menerjemahkan bayaan yang disampaikan oleh
penceramah di mimbar ke dalam satu bahasa tertentu. Terlihat ada pojok untuk
bahasa Sotho, Swazi, Malawi, Mozambiq, Bangladesh, Arab, Perancis dan juga
Portugis.
Di Ijtimaa, dunia jadi terasa sempit. Saya bertemu dengan dua orang yang
sudah pernah kenal sebelumnya, yaitu Yakoeb yang warga negara Afsel dan
Aslam, seorang pelajar asal Indonesia yang nyantri di Johannesburg.
Saya pertama kali bertemu Yakoeb pada bulan Mei 2004, waktu itu dalam
perjalanan pulang pertama kali dari Johannesburg mau ke Jakarta. Kami
bertemu di pesawat, kebetulan duduknya bersebelahan. Waktu itu Yakoeb dalam
perjalanan menuju Bali untuk tujuan wisata bersama istrinya, sedangkan saya
tentu saja pulang ke kampung Jakarta untuk selama seminggu. Setelah
seminggu, tanpa direncanakan, kami bertemu lagi di bandara ketika sama-sama
dalam perjalanan menuju Johannesburg. Ketika berpisah di Johannesburg kami
bertukar nomer telepon, namun masing-masing tidak pernah kontak. Tapi kini
lagi-lagi tanpa janjian, kami bertemu kembali di Ijtimaa.
Aslam ceritanya lain lagi. Aslam yang santri Darul Ulum Syekh Zakariyya
Johanneburg ini, dulu satu kampus dengan saya, hanya saja berbeda fakultas.
Ketika masih kuliah bertemunya jarang, dan setelah luluspun tidak pernah
kontak. Dan kita sama-sama tidak pernah menyangka akan bertemu kembali di
tempat yang sangat jauh.
Selain Aslam, ada dua pelajar Indonesia lain yang saya temui, masing-masing
dari Medan dan Jambi. Ada bertemu juga belasan pelajar dari negara-negara
tetangga di Asia Tenggara, satu dari Kamboja, dua dari Singapura, tiga dari
Thailand dan selebihnya dari Malaysia. Mereka ini terhimpun dalam suatu
paguyuban pelajar atau santri Melayu yang nyanri di Darul Ulum, semacam
pesantren yang santrinya banyak berasal dari mancanegara.
Ahad malam, masih di waktu Ijtimaa, Aslam dkk mengundang saya dan Noor untuk
hadir di acara pertemuan mereka. Menariknya, dalam pertemuan itu "lingua
franca"-nya adalah Bahasa Melayu. Ternyata Bahasa Melayu yang menjadi lingua
franca perdagangan di Asia Tenggara beberapa abad yang lalu, masih ampuh
dipakai hingga sekarang untuk komunikasi walau masing-masing punya gaya dan
aksen yang berbeda.
Menarik sekali, pertemuan malam itu jadi pertemuan orang-orang rumpun
Melayu, namun dengan sejarah yang berbeda-beda. Saya sendiri orang keturuan
Jawa yang besar di Jakarta. Aslam orang Palembang yang pernah kuliah di
Jakarta. Ada lagi Abdul Wahid yang orang Jambi dan pernah merantau di
Pakistan. Al-Mahdy yang orang Medan. Selebihnya punya sejarah masing-masing
di negerinya sendiri. Hanya Noor yang punya sejarah jauh berbeda, ia orang
keturunan Jawa yang tidak lagi mengerti bahasa leluhurnya.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home