BloG ini berisi kumpulan tulisan menarik dari berbagai milis dan juga tulisan2 saya di beberapa milis. Topik yg menarik minat saya tentang manusia, kebudayaan, teknologi, management, marketing dan keagamaan...krn banyak posting menarik dari milis yg sayang kalau tidak di dokumentasi. Semoga ada gunanya... :P Silahkan dikomentari dan dikritisi jika ada hal-hal yg tidak sesuai dengan opini anda. Just feel free to write....OK...? :)

Tuesday, June 29, 2004

Manajemen Perubahan (7)

Oleh: Rhenald Kasali

Minggu lalu, dunia usaha Indonesia telah kehilangan salah seorang putra terbaiknya yang telah memberikan kontribusi besar dalam menciptakan perubahan. Orang itu bernama Ir. Cacuk Sudarijanto. Cacuk sangat dikenal dalam menciptakan perubahan mendasar di PT. Telkom yang dulu masih berstatus sebagai Perum (Perumtel). Di bawah jerih payah pemikiran dan kerja kerasnya, Perumtel yang dulu terkesan “amburadul” kini telah tumbuh menjadi badan usaha yang sehat dan dinamis.
Saya cukup beruntung sempat beberapa kali mendengarkan pengalamannya dalam menetapkan langkah-langkah perubahan yang ia lakukan di Perumtel. Bahkan dua bulan yang lalu saya masih sempat “ngobrol-ngobrol” dengan yang bersangkutan. Saat itu saya menyampaikan niat saya untuk memuat cerita yang bersangkutan dalam buku (Manajemen Perubahan) yang sedang saya tulis. Setelah itu yang bersangkutan sempat menerima asisten-asisten saya yang mencatat, merekam dan mendengarkan apa saja yang ia lakukan. Bagi saya, orang-orang seperti Pak Cacuk adalah sumber yang sangat penting dalam catatan perubahan di Indonesia. Selain Cacuk, tim saya juga menghubungi tokoh-tokoh lainnya seperti Sjamsir Kadir (dulu menciptakan perubahan di Perum Pegadaian), Robby Djohan, dan Abdul Gani (menciptakan perubahan di Garuda Indonesia) dan Marzuki Usman (yang telah meramaikan Bursa Efek). Mereka masing-masing mempunyai cara yang berbeda-beda dalam melihat dan menciptakan perubahan, tetapi mendapatkan hasil yang luar biasa.
Kepada tim saya, Cacuk bercerita betapa sulitnya saat pertama-tama mengemudikan perusahaan milik negara ini. Pertama, laporan keuangan perusahaan ini banyak anehnya. Ia memberi contoh, selama bertahun-tahun sebelum ia menjadi CEO, Perumtel tak pernah mendapat status qualified dalam pemeriksaan (audit) oleh BPKP. Selain itu, laporan yang ada selalu terlambat hingga tiga tahun. Jadi, saat ia memimpin pada tahun 1988, yang bisa ia analisis adalah laporan keuangan tahun 1985. Belum lagi masalah accounting structure. Ia melihat betapa tidak menyatunya proses pengambilan keputusan antara kantor pusat dengan cabang-cabangnya. Cabang yang mengeluarkan biaya, tetapi pusat yang harus bertanggungjawab.
Sudah begitu, SDM-nya pun rapuh. Ia menyebut-nyebut struktur SDM di Perumtel ibarat bawang bombay. Berlapis-lapis tipis dan bergelembung di dalam. Selain ada penguasaan perusahaan oleh lulusan akademi milik sendiri, mayoritas karyawan ternyata cuma pada level SMU (atau ke bawah). Jangankan tenaga S2, tenaga sarjananya saja sangat terbatas. Itulah sebabnya ia segera membentuk sekolah strata S1. Ia bahkan mengakui sempat “sowan” kepada senior-seniornya di ITB agar mereka tidak tersinggung bila melihat program S1 yang ia bangun “agak” bersaing dengan ITB dalam merekrut kandidat-kandidat terbaik. Sementara itu tenaga-tenaga yang di dalam disekolahkan kembali. Seingat saya, di Lembaga Management FEUI, kami juga pernah membuatkan program untuk PT. Telkom yang diberi nama, Program Setara S1.
Minimnya tenaga pemikir telah mengakibatkan rendahnya inovasi di PT. Telkom. Para pekerja cenderung menganggap perusahaan negara sebagai pohon besar yang memberi perlindungan. Jadi semua menganggap Perumtel bukan sebuah usaha profit motive, melainkan tempat berbagi rasa, sekedar untuk “menumpang hidup”. Cacuk segera menggebrak. Ia segera mendatangkan sarjana-sarjana baru di Telkom. Sistem pencatatan keuangan perusahaan segera ia perbaiki. Ia mengirim orang-orangnya belajar di Indosat. Dalam tempo dua tahun hasilnya mulai kelihatan. Cacuk tampaknya sangat senang menggunakan analisis mata rantai nilai. Ia sendiri memetakan sumber-sumber kebobrokan perusahaan dalam sebuah bagan sirip tulang ikan. Disitu ia bisa segera memastikan apa saja yang harus segera diterobos.
Ia tahu persis bahwa perubahan tidak bisa digulirkan sekejap. Ia butuh suasana yang lebih kompetitif. Dengan memahami teknik Innovation-Diffusion, Cacuk mengkompetisikan perubahan. Teknik ini ternyata menciptakan iklim perubahan yang sangat kondusif. Caranya, seminggu sekali Cacuk melakukan teleconference dengan seluruh kandatel. Ia sendiri yang memimpin pembicaraan. Setiap kantor diminta melaporkan inovasi apa yang akan atau telah dilakukannya. Ia mereview dan memberikan masukan-masukan. Sementara itu pembicaraan itu didengar oleh kandatel-kandatel lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka yang mendengar terpacu, dan tertular. Minggu berikutnya mereka sudah siap dengan program perubahan yang lebih baik dari yang mereka pernah dengar minggu sebelumnya.
Dengan kata lain Cacuk melakukan perubahan-perubahan yang sangat mendasar, tetapi ia juga menggunakan teknik komunikasi-penyebaran inovasi dengan sangat cerdik. Sekarang ini para eksekutif puncak di Telkom umumnya mengakui bahwa perubahan itu telah meninggalkan jejak yang sangat membekas. Sebuah jejak yang mengantarkan Telkom kepada masa depan baru dengan tantangan-tantangan yang jauh lebih rumit lagi.
Selamat jalan Pak Cacuk. Perubahan yang telah dirintis pasti tidak sia-sia

Dinginnya di Vaal Dam, Hangatnya Keluarga Bham

(oleh2 Jul dr Johannesburg)

Vaal Dam yang sangat besar itu, memang terasa kurang
pas dikunjungi pada musim dingin seperti sekarang ini.
Untungnya, di Lenasia –-suburban sekitar Johannesburg
yang mayoritas dihuni orang-orang India-- disambut
hangat oleh keluarga Bham, termasuk oleh Azhra yang
cantik, secantik bintang-bintang Bollywood.

---

Fayaaz Bham dan sabtu siang yang terang itu, 22 Mei
2004, telah sama-sama mengantarkan saya jadi saksi
kebesaran Vaal Dam, dam (bendungan) yang punya arti
penting buat negara Afrika Selatan. Untuk sampai sana
dari Johannesburg, paling tidak kami harus mengarungi
jalan sepanjang 56 km ke arah selatan, ke arah kota
Vereeniging (baca: virinehen).

Setelah sekitar satu setengah jam perjalanan, tibalah
kami di Vaal Dam yang sangat besar, sebesar jasanya
bagi propinsi Gauteng dan sekitarnya. Dengan luas
38.500 km persegi, dam ini mampu menampung banyak air
yang mengalir dari sungai Vaal, yang dimanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan air propinsi Gauteng dan
sekitarnya yang memang sarat dengan industri.

Selain menampung air, Vaal Dam juga menampung para
pengunjung yang ingin berekreasi. Terlihat beberapa
perahu layar berseliweran di tengah bendungan sana.
Menurut Fayaaz, Vaal Dam juga jadi sasaran empuk para
pemancing dan pecinta olahraga atau kegiatan air lain.
Hanya saja kegiatan-kegiatan itu ramai dilakukan di
musim panas, bukan di musim dingin seperti sekarang
ini. Pada musim dingin, Vaal Dam juga seakan menyambut
“dingin” para pengunjungnya.

Mengenai musim, seperti halnya negara-negara Eropa,
Afsel juga mengalami empat musim dalam setahun. Hanya
saja musimnya kebalikan dengan yang terjadi di Eropa,
karena memang Afsel terletak di belahan bumi bagian
selatan (southern hemisphere), sedangkan Eropa di
belahan utara. Kalau di Eropa saat ini sedang terjadi
musim panas, Afsel sedang mengalami musim dingin walau
tak bersalju.

Setelah melihat-lihat sekitar Vaal Dam, kami menuju ke
sebuah villa. Ya, di sekitar Vaal Dam memang terdapat
banyak villa, dan satu diantaranya adalah milik
Fayaaz.

Fayaaz mengunjungi villa hanya sekedar melihat-lihat
dan juga mengecek hasil kerja Yosep, seorang tua
berkulit hitam yang sehari-hari mengurusi villa milik
Fayaaz. Mereka, Fayaaz dan Yosep, terlibat dalam suatu
diskusi, namun tidak jelas apa yang sedang mereka
perbincangkan, mereka berbicara dalam bahasa
Afrikaans.

Hari itu jadi kali pertama melihat Fayaaz berbicara
dalam bahasa Afrikaans. Awalnya, dikira hanya para
Afrikaaner saja yang berbicara dalam bahasa Afrikaans.
Fayaaz menjelaskan, ia bisa karena bahasa Afrikaans
diajarkan ketika ia sekolah dulu. Buat dia, Afrikaans
jadi bahasa kedua setelah Inggris. Selain dua bahasa
itu, Fayaaz juga mengaku mengerti bahasa Gujarati
--salah satu bahasa di India-- karena memang leluhur
Fayaaz datang dari daerah Gujarat di India.

Yosep sendiri, selain fasih berbicara dalam bahasa
Afrikaans, ia tentu juga mahir bahasa sukunya, yaitu
Xhosa (baca: kosa), salah satu suku kulit hitam di
Afsel. Yosep juga berbicara dalam bahasa Inggris,
hanya saja ia mengaku tidak terlalu lihai. Ia
terbilang jarang berbicara dalam bahasa Inggris.

Menjelang senja, diiringi matahari merah yang bagai
mengintip, kami mulai meninggalkan villa, berbalik ke
arah Johannesburg. Kami menuju Lenasia, suburban
sekitar Johannesburg yang banyak dihuni oleh penduduk
keturunan India. Di sana pulalah keluarga Bham
berdiam.

joel@joburg
June 22, 2004 23h11

Insya Allah berlanjut…